MAKALAH
WAWASAN TEORITIK
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Sosiologi
Pendidikan
Dosen pengampu
: Asep Mulyana, M.Pd
Di susun oleh :
- Lisa Rachmawati
- Lu’lu Mukhoyyaroh
- Nurhalimah
BIOLOGI B / 3
FAKULTAS TARBIYAH /
JURUSAN TADRIS IPA-BIOLOGI
SMT III
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2013
KATA
PENGANTAR
Assalamu’ alaikum Wr. Wb
Alhamdulilah puji dan syukur atas ke
hadirat Allah Swt yang telah memberikan karunianya kepada penyusun sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu dan makalah ini yang berjudul : “Wawasan
Teoritik”.
Adapun tujuan penulis membuat
makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Sosiologi
Pendidikan. Semoga makalah yang disusun oleh penyusun ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi pembaca.
Demikian makalah ini dibuat kami
menyadari di dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
dan maka dari pada itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk mencapai
kesempurnaan makalah ini agar lebih baik lagi, dan atas kritik dan saran
kami ucapkan terima kasih.
Wassalamua’laikum Wr. Wb
Cirebon , 27 September 2013
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Teori
interaksionisme simbolik merupakan teori dalam sosiologi modern. Di dalamnya
berintikan pemikiran penting dari berbagai tokoh sosiologi terutama George
Herbert Mead. Teori ini memusatkan perhatian lebih kepada individu, tentang
bagaimana individu berinteraksi dengan individu lain dengan menggunakan
simbol-simbol yang signifikan berupa bahasa.
Interaksionisme
simbolik berkembang pesat pada abad 19-20-an di Chicago. Mead merupakan cikal
bakal munculnya teori interaksionisme simbolik dengan pemikirannya “The
Teorethical Perspective”. Teori ini berfokus pada tindakan dan makna dalam
masyarakat. Setelah memperoleh suatu makna, manusia akan bertindak sesuai
dengan makna tersebut.
Teori ini dipengaruhi juga oleh Max Weber
dengan teori tindakan sosialnya. Selain itu pemikiran tokoh-tokoh lain seperti
Herbert Blumer, Erving Goffman, Charles Horton Cooley dan William I. Thomas.
Dengan
pembahasan mengenai teori interaksionisme simbolik diharapkan agar kita dapat
lebih mengetahui fenomena sosial dengan pencermatan individu. Sehingga bisa
untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dalam masyarakat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah pengertian dari struktural fungsional ?
2.
Apakah yang dimaksud dengan struktural konflik ?
3.
Apakah yang dimaksud dengan teori interaksionisme simbolik
?
4.
Apakah yang dimaksud dengan etnometodologi ?
5.
Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh sosiologi terhadap
teori struktural fungsional, struktural konflik, interaksionisme dan
etnometodologi ?
C.
TUJUAN
1.
Kita bisa mengetahui konsep-konsep dan pengertian dari
struktural fungsional yang ada di masyarakat
2.
Kita bisa mengetahui konsep-konsep dan pengertian dari
struktural konflik yang terjadi di masyarakat
3.
Dengan teori interaksionisme simbolik kita dapat
lebih mudah berinteraksi dengan orang lain, serta dapat membaca
karakter/, budaya orang lain dgn lebih mudah
4.
Kita bisa mengetahui arti dari etnometodologi yang
terjadi di masyarakat sekitar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
a. Pengertian
Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan
sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional, yang
berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing
– masing dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi
perhatian oleh banyak ilmuwan sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori –
teori klasik fungsionalisme diperkenalkan oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim,
serta fungsionalisme modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony
Giddens.
Jika salah satu atau dua individu tidak
dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan sangat menganggu
sistem kehidupan.
b. Struktural Fungsional Klasik
Di awal – awal kelahiran teori fungsionalisme. August
Comte berpikir agar ilmu – ilmu sosial tetap menjadi ilmiah, dan memandang
biologi sebagai dasar melihat perkembangan manusia, hingga lahirlah ilmu
sosiologi. Dalam kajiannya, teori fungsionalisme mempelajari struktur dalam
masyarakat seperti halnya perkembangan manusia dalam struturasi organisme.
Spencer menyebutkan, “Jika salah satu organ mengalami ‘ketidakberesan’ atau
‘sakit’, maka fungsi dari bagian tubuh yang lain juga akan terganggu.” Hal yang
sama terjadi pada sebuah tatanan kesatuan dalam masyarakat. Jika salah satu
atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka
akan sangat menganggu sistem kehidupan.
Masyarakat, sebuah kesatuan yang terdiri dari beragam
individu dengan latar belakang politik, budaya, sosial, dan ekonomi yang
berbeda. Dalam pandangan Robert K. Merton yang diteruskan dari Comte, Spencer,
dan E. Durkheim, masyarakat cenderung mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan zaman. Jika perubahan tersebut kearah positif, maka dapat disebut
sebagai masyarakat berfungsi, namun jika terjadi hal sebaliknya, maka dapat
disebut sebagai masyarakat tidak berfungsi (disfungsional). Menurut Comte dan
Spencer, perkembangan masyarakat bermula dari kesederhanaan hingga akhirnya
menuju pada masyarakat positif, dengan pembagian struktur yang juga semakin kompleks,
dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Dalam arti lain, seperti teori
Karl Marx dalam pembagian kelas. Yang menyebutkan bahwa masyarakat berubah dari
masyarakat primitif dengan struktur proletarian (pemilik tanah dan buruh),
masyarakat Industri (pemilik modal dan buruh industri), lalu masyarakat modern
(kapitalis).
Penekanan yang terjadi pada teori
fungsionalis struktural bersumber pada bagaimana dalam perkembangan tersebut
mencakup keragamannya, tercipta sebuah keseimbangan (equilibrium) atau dinamic equlibrium (keseimbangan berjalan). Notebene,
berasal dari fungsi dan peran masing – masing individu yang ada dalam
masyarakat.Parsons menyebutkan, keseimbangan dapat tercipta dengan konsep
adaptation (adaptasi), goals (tujuan), integration (integrasi), dan latern
pattern maintenance (pemeliharaan pola-pola). Adaptation, yang berarti
dilaksanakan oleh masing – masing individu, terhadap pengaruh baru yang masuk.
Integrasi, mencakup bagaimana fungsi dan peran dalam masyarakat saling
terhubung (connected). Tujuan, jelas merupakan tujuan umum yang ingin dicapai
oleh masyarakat tersebut dibantu oleh norma – norma yang dimiliki, dan sanksi
terhadap pelanggaran norma. Meski terjadi konflik pun, dapat diatasi dengan
penyesuaian – penyesuaian dan institusionalisasi (Nasikun, 1984 : 11).
Lattern Pattern Maintenance, sub – konsep yang terakhir ini
merupakan pemeliharaan pola – pola, dimana suatu masyarakat memiliki peluang
untuk menjaga tatanan sistem yang sudah terbentuk. Sekali lagi, meski terdapat
‘penyakit sosial’ atau pelanggaran norma yang mungkin terjadi, tidak akan mampu
merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Konsep AGIL oleh Parsons diatas digunakan untuk
bertahan (defensed) dalam sebuah struktur fungsionalisme. Tentu, sebuah tatanan
masyarakat akan dipengaruhi oleh subsistem yang ada didalamnya (struktur
fungsionalisme) diantaranya ; subsistem ekonomi, perubahan ekologis (lingkungan
tempat tinggal), politik, kebudayaan, dan sosialisasi (David Easton dan Talcott
Persons). Karena menurut Mallinowski, terdapat empat unsur fungsionalisme
mencakup (1) sistem norma yang memungkinkan kerjasama antar individu dalam
masyarakat, (2) organisasi ekonomi (baik swadaya maupun bentukan pemerintah),
(3) alat – alat pendidikan, (4) organisasi kekuatan (politik), yakni regulasi
(peraturan/kebijakan) yang dibuat oleh pemerintah atau daerah setempat.
Struktural fungsionalisme berjalan melalui individu –
individu (invidu Act) sebagai aktor dengan menjalankan fungsi dan perannya
masing – masing melalui bentuk adaptasi terhadap subsistem struktural
fungsionalisme, yang menghasilkan sebuah tindakan (unit aksi). Dari unit aksi
inilah kemudian terjadi sistem aksi (act system) dimana masyarakat telah
menemukan tujuan dari aksi tersebut. Sehingga terbentuklah sebuah tatanan
masyarakat dengan keunikannya tersendiri. Nantinya, akan mengalami perubahan
yang lebih kompleks.
c. Struktural
Fungsional Modern
Teori struktural fungsional juga mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Jika diawal –
awal lahirnya teori ini diprakarsai oleh Comte, Parsons, dan E. Durkehim dengan
menyesuaikan jiwa jaman (Geiisweitch) saat itu, yakni keadaam dimana masyarakat
masih begitu sederhana. Maka dalam perkembangan yang lebih lanjut, teori
struktural fungsional klasik tersebut dinilai ‘kurang’ sesuai dengan
perkembangan masyarakat saat ini yang lebih kompleks. Sehingga munculah teori –
teori baru yang diteruskan oleh Robert K. Merton (1910 – 2003), dan Anthonny
Giddens (1938 – sekarang). Robert K. Merton yang lebih menitikberatkan
kajiannya terhadap perubahan sosial dan Anthonny Giddens dengan strukturisasi
masyarakatnya.
Dalam masyarakat yang lebih kompleks, pembatasan
terhadap teori fungsional dinilai perlu dilakukan, dimana perubahan – perubahan
kerap terjadi. Robert K. Merton mengakui bahwa teori fungsionalisme klasik
telah banyak membantu bagi perkembangan studi kemasyarakatan, namun tidak dapat
menjawab permasalahan sosial secara keseluruhan. Menurut Merton dan Giddens,
tindakan sosial (act social) tidak pernah terlepas dari struktur sosial.
Raclidffe brown menyebutkan, pembagian dalam masyarakat beserta ide mengenai
strata yang membedakan agama, ras, dan suku tersebut dipengaruhi oleh peraturan
– peraturan dan hukum yang sedang berlaku di sekitar lingkungan masyarakat.
Ada keterkaitan antara struktur sosial dengan perilaku
dan adaptasi individu. Lower
class (masyarakat bawah) misalnya, cederung memiliki
kesempatan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan masyarakat kelas atas.
Tentu hal ini berakibat pada keresahan, frustasi, dan kekecewaan terhadap
individu – individu tertentu, sehingga dapat menghasilkan perubahan sosial
dengan adaptasi tertentu. Masih menurut Merton, adaptasi dalam teori struktural
fungsional terbagi menjadi 5 jenis yakniconformity (keadaan
tetap pada keadaan sosial yang lama), Inovation (terdapat perubahan cara untuk menggapai tujuan dalam
masyarakat), Ritualism (bentuk penolakan terhadap pengaruh – pengaruh baru), Retreatism (bentuk penarikan diri individu dengan cara melakukan
penyimpangan sosial), dan Rebellion yang berarti pemberontak, dan berani mengubah tatanan
struktur sosial secara keseluruhan.
Dalam teori Giddens, perubahan sosial yang terjadi
memerlukan struktur sosial (recurrent social practise) sebagai sarana dan
sumber daya untuk melakukan tindakan sosial. Perubahan sosial yang juga
dipengaruhi oleh subsistem (ekonomi, budaya, politik, dan sosialisasi) dan
struktur teori fungsionalisme (norma, organisasi ekonomi, alat pendidikan, dan
politik kebijakan pemerintah), membutuhkan jarak (space) saat praktiknya
dimulai, notabene tidak semua ritual lama ditinggalkan oleh masyarakat.
B. TEORI STRUKTURAL KONFLIK
a. Pengertian
Teori
Struktural konflik merupakan teori sosial yang menjelaskan bahwa jika
masyarakat itu tidak setara, maka manusia tidak hanya dihambat oleh norma-norma
dan nilai-nilai yang dipelajari melalui sosialisasi. Teori ini berpendapat
bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang ia miliki oleh posisinya dalam
struktur ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka. Ini menekankan pengaruh
perilaku dari distribusi kemudahan yang tidak merata yang dalam masyarakat
biasanya. Jika dikaitkan dengan teori Struktural konflik maka masyarakat
cederung melihat posisi yang mana yang untung dan yang mana yang dirugikan.
Ada
beberapa struktur ketidaksetaraan di masyarakat. Kelompok etnik mungkin tidak
setara, muda dan tua mungkin tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin
tidak setara, orang-orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda bisa tidak
setara, orang-orang yang berbeda agama bisa tidak setara, dan seterusnya.
Kemudahan yang tidak setara yang melekat pada kelompok tersebut juga
bermacam-macam. Berbagai kelompok bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestise,
kekayaan atau kombinasi unsur-unsur tersebut dengan kemudahan lainnya.
Berbeda
dengan berbagai pusat perhatian teori konflik berbasis ketidaksetaraan, dan
bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar tidak setara, teori-teori
tersebut memiliki kesamaan aksioma bahwa asal-usul dan persistensi struktur
ketidaksetaraan terletak pada dominasi atas kelompok-kelompok yang tidak
beruntung itu oleh kelompok-kelompok yang beruntung. Menurut Wes Sharrock disebut
teori konflik demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada
masyarakat yang tidak setara adalah konflik kepentingan yang tak terhindari
antara “yang berpunya” dan “ yang tidak berpunya”.
b. Kaitan Dengan Teori
Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk
konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan
upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk memaksakan pembenaran
atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk
mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya,
menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya
mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan
mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara
komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan
secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya
dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan
individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal
yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas
kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal
ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan “kesadaran
sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang berada pada
posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk
jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang
pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya, dan tidak
mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu
perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas
merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti itu
terasing atau diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya.
Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat
jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata
terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan
yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat
serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu
kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi
(dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses
pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32
tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner”
berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan
yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka
tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi
bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga,
orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan
posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka
yang sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju
terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan
yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan
adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling
bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar
dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran
dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur
sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi
antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan
kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya
anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa
perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah
runcingnya perbedaan yang ada.
Saling ketergantungan antara tindakan individu dan
kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari orientasi-orientasi nilai
yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan
bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi
kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan
terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun secara umum
Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut, sesungguhnya
merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar
kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai
sumber daya itu, mereka yang berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan
jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan memberikan kontribusinya dalam
mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa. Singkatnya, yang ada hanyalah
faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada pada posisi dominan dan bukan
nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan
pola-pola saling ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan
konsep atau mekanisme penyadaran bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama
dalam masyarakat Maluku agar dapat bersatu, hidup berdampingan dengan damai.
Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep atau mekanisme penciptaan
ketergantungan dari orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada
kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak
penguasa (pemerintah pusat atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling
kurang memfasilitasi terbentuknya mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx
menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa
dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan
kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak
dibantah. Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai
sumber daya itu, maka berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini,
kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan
struktur dimana mereka berkuasa.
Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan
posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada perasaan dan
keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari seseorang
atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi :
alienasi dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh
kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya sendiri.
Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika hanya
menunjuk pada perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri sendiri atau
orang lain tersebut, dengan kata lain terjadi suatu keadaan kurangnya kontrol
seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx bergerak lebih jauh
dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari
majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa
menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun
argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks kehidupan pabrik pada
abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan
empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis
filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang
mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara Marxis dan
non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang mendasari serta asumsi-asumsi
dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris yang saling
bertentangan.
C. TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang
mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini
Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Artinya setiap hubungan
sosial di mana seseorang itu terlibat merupakan satu cerminan diri yang disatukan
dalam identitas orang itu sendiri. Jadi maksudnya kita bisa melihat atau
mengoreksi diri kita dengan melalui orang lain. Esensi dari teori ini adalah
simbol dan makna. Makna adalah hasil dari interaksi sosial. Ketika kita
berinteraksi dengan orang lain, ia berusaha mencari makna yang cocok dengan
orang tersebut. Kita juga berusaha mengintepretasikan maksud seseorang melalui
simbolisasi yang dibangun.
Seperti
namanya, teori ini berhubungan dengan media simbol dimana interaksi terjadi.
Tingkat kenyataan sosial sosial yang utama yang menjadi pusat perhatian
interaksionisme simbolik adalah pada tingkat mikro, termasuk kesadaran
subyektif dan dinamika interaksi antar pribadi.
Teori
interaksionisme simbolik memberikan gambaran mengenai hakikat kenyataan sosial
yang berbeda secara kontras yang terdapat dalam interaksionisme simbolik. Bagi
interaksionisme simbolik, organisasi sosial tidak menentukan pola-pola
interaksi. Organsisasi muncul dari proses interaksi.
Akar dari
teori interaksionisme simbolik yang merupakan yang terpenting dalam karya Mead
adalah pragmatisme dan behaviorisme.
Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang meliputi banyak hal. Ada beberapa
aspek pragmatisme yang mempengaruhi orientasi sosiologis. Namun diantara empat
aspek itu ada tiga yang penting bagi interaksionisme simbolik. Pertama, adalah
memusatkan perhatian pada interaksi antara aktor dan dunia nyata. Kedua,
memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukan
sebagai struktur statis. Ketiga, arti penting yang dihubungkan kepada kemampuan
aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial. Sementara behaviorisme berpendapat
bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang harus dilakukan.
Pemikiran terpenting dalam interaksionisme simbolik
adalah pemikiran George H. Mead. Menurut
Mead dari dunia sosial itulah muncul kesadaran, pikiran, diri, dan seterusnya
atau yang terkenal dalam buku Mead yaitu Mind,
Self, and Society. Menurut Mead dalam tindakan sosial ada empat tahapan
yang saling berhubungan. Yaitu impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumiasi.
Mead juga mengatakan bahwa dalam tindakan sosial ada mekanisme dasarnya yaitu
sikap isyarat. Sikap isyarat ini bisa berupa isyarat signifikan dan isyarat
nonsignifikan. Isyarat sisgnifikan ini berupa bahasa yang merupakan fakttor
penting dalam pekembangan khusus kehidupan manusia. Bahasa ini menjadi simbol
signifikan yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang bisa membuat
isyarat suara tapi isyarat suara itu tak sisgnifikan bagi binatang lain. Hanya
manusia yang bisa membuat simbol signifikan yang disebut bahasa. Bahasa ini
punya fungsi menggerakkan tanggapan yang sama di pihak individu yang berbicara
dan juga di pihak lannya. Isyarat signifikan ini merupakan isyarat yang jauh
lebih efektif dan memadai untuk saling menyesuaikan diri dalam tindakan sosial
menurut Mead daripada isyarat nonsignifikan. Yang paling penting dari teori
Mead ini adalah fungsi lain simbol signifikan, yakni memungkinkan proses
mental,berpikir. Simbol signifikan ini juga berarti interaksi simbolik. Artinya
orang dapat saling berinteraksi tidak hanya melalui isyarat tapi juga melalui
simbol sisgnifikan. Bahkan interaksi
dengan melalui simbol yang signifikan berupa bahasa, kita akan lebih mudah
untuk saling memahami makna yang ingin disampaikan. Dengan begitu interaksi
akan berlangsung jauh lebih efektif daripada hanya menggunakan isyarat atau
simbol yang tak signifikan saja.
Menurut Mead
pikiran dalam diri manusia adalah terletak pada proses sosial. Pikiran
merupakan bagian integral dari proses sosial dan proses sosial ini hadir lebih
dulu dari pikiran. Pendapat Mead ini ada benarnya. Jika yang muncul lebih dulu
adalah pikiran, maka manusia tidak akan tahu tentang apa yang harus
dilakukannya dengan pikiran yang dimiliki karena tidak adanya suatu proses
sosial dalam kehidupannya. Proses sosial yang muncul lebih dulu akan menuntun
atau memberikan arah kemana pikiran itu. Dalam konsep pikiran ini juga
melibatkan konsep diri. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek dan
objek. Diri muncul melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead
diri baru muncul saat pikiran itu berkembang. Mustahil untuk memisahkan
keduanya karena diri adalah proses mental. Diri juga berarti kemampuan untuk
menempatkan diri secara tak sadar pada tempat orang lain dan bertindak seperti
yang mereka lakukan. Sehingga orang dapat memeriksa diri sendiri sebagaimana
orang lain memeriksa diri mereka sendiri.
Suatu
analisa yang lebih terperinci mengenai konsep diri diberikan dalam model McCall
dan Simmons mengenai identitas peran. Identitas-peran terdiri dari gambaran
diri yang bersifat ideal yang dimiliki oleh individu sebagai orang yang
menduduki berbagai posisi sosial. Identitas-peran ini diungkapkan secara
terbuka dalam pelaksanaan peran, dan tingkat dukungan sosial yang diterima
orang lain akan membantu menentukan pentingnya suatu identitas-peran tertentu
dalam konsep diri seseorang secara keseluruhan.
Erving
Goffman merupakan salah satu tokoh terkenal dalam teori sosiologi. Karya
terpentingnya dalam interaksionisme
simbolik adalah Presentation of Self in
Everyday Life. Ia terkenal dengan konsep dramaturgi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan
pertunjukkan drama di atas pentas yang di dalamnya ada yang disebut frontstage
(panggung depan) dan backstage (panggung belakang). Juga ada bidang ketiga
yaitu bidang residual, yang tak termasuk panggung depan dan belakang. Tujuan
Goffman yang utama adalah untuk menunjukkan pentingnya proses-proses di mana
individu berusaha untuk mementaskan suatu definisi sistuasi tertentu, dengan
tekanan khusus yang diberikan kepada usaha untuk memperoleh dukungan sosial
bagi konsep-dirinya, yang di proyeksikan si individu itu dalam interaksinya
dengan orang lain.
Menurut
Goffman, diri bukanlah milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi
dramatis antara aktor dan audien. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang
dapat mencegah gangguan atas penampilan diri.
Kunci
pemikiran Goffman adalah bahwa jarak peran adalah fungsi status sosial
seseorang. Orang yang berstatus sosial tinggi lebih sering menunjukkan jarak
sosial karena alasan yang berbeda dengan orang yang berada pada posisi status
lebih rendah.
D. ETNOMETODOLOGI
a. Pengertian dan Konsep Etnometodologi
Neuman (1997) mengartikan etnometodologi sebagai
keseluruhan penemuan, metode, teori, suatu pandangan dunia. Pandangan etnometodologi
berasal dari kehidupan. Etnometodologi berusaha memaparkan realitas
pada tingkatan yang melebihi sosiologi, dan ini menjadikannya berbeda banyak
dari sosiologi dan psikologi. Etnometodologi memiliki batasan
sebagai kajian akal sehat, yakni kajian dari observasi penciptaan yang
digunakan terus-menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang
sewajarnya. Secara terminology, etnometodologi diterjemahkan sebagai sebuah metode pengorganisasian masyarakat dengan
melihat beberapa aspek kebutuhan, diantaranya: pencerahan dan
pemberdayaan. Etnometodologi bukanlah metode yang digunakan
oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk pada permasalahan apa
yang akan diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang
bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari, metodenya
untuk mencapai kehidupan sehari-hari. Etnometodologi didasarkan
pada ide bahwa kegiatan sehari-hari dan interaksi sosial yang sifatnya rutin,
dan umum, mungkin dilakukan melalui berbagai bentuk keahlian, pekerjaan
praktis, dan asumsi-asumsi tertentu. Keahlian, pekerjaan praktis, dan
asumsiasumsi itulah yang disebut dalam etnometodologi.
Tujuan utama etnometodologi adalah untuk mempelajari
bagaimana anggota masyarakat selama berlangsungnya interaksi sosial,
membuat sense of indexical expression. Istilah indexical tidak
bermakna universal namun bergantung pada konteks (misalnya, ia, dia, mereka).
Sifatnya terbatas pada yang diindeks atau dirujuk Subjek etnometodologi bukanlah
anggota-anggota suku-suku terasing, melainkan orang-orang dalam perbagai macam
situasi dalam masyarakat kita. Etnometodologi berusaha
memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan
keteraturan dunia di tempat mereka hidup.Pemanfaatan metode ini lebih dilatari
oleh pemikiran praktis (practical reasoning) ketimbang oleh kemanfaatan
logika formal (formal logic).
Etnometodologi ditakrifkan sebagai
kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang dapat
dimengerti oleh anggota masyarakat biasa. Masyarakat seperti ini bisa mencari
jalan dan bisa bertindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan dirinya
sendiri (Ritzer, 1996).
b.
Sejarah Metode Etnometodologi
Dalam studi etnometodologi, cukup sederhana cara melihat
validitas, karena biasanya disini tidak digunakan cara-cara konvensional dalam
mengukur suatu konsep. Sebagai contohetnometodologi melihat konsep
alienasi lebih mendekati teknik grounded theory, misalnya dengan cara
mengobservasi peraturan-peraturan yang bias diamati dari luar, kemudian
memberinya lebel atau identitas tertentu. Sementara reliabilitas dapat dilihat
dari hasil pembandingannya dengan metode lain yang sejenis. Oleh sebab itu,
disini sangat bergantung pada kekuatan interpretasi peneliti terhadap masalah
sosial yang sedang dihadapinya. Namun karena masalah yang sama dilihat dari
segi metode yang berbeda, maka hasilnya pun relatif tidak akan sama (berbeda
pula). Kesalahan yang bisa dan sering muncul adalah pada kasus-kasus yang bersifat
ambigu (mendua arti), atau kasus yang mempunyai peluang ditafsirkan
berbeda-beda.
Harold Garfinkel dipertengahan tahun 1950-an, memperkenalkan istilah etnometodologi dalam
bidang penelitian sosial yang merupakan inspirasi atas kreasi dari sosiologi
fenomenologi. Garfinkel disaat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini
sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz pada New School For Social Research.
Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel.
Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu
sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang
dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi.
Dalam prakteknya, etnometodologi Grafinkel menekankan pada
kekuatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau
pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko.
Sementara itu, Jack Douglas menggunakanetnometodolgi untuk
menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab
musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh
diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu, koroner harus
menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang
tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur
kesengajaan (Furchan, 1992).
Garfinkel sendiri mendefinisikan etnometodologi sebagai penyelidikan
atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai
kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan
sehari-hari yang terorganisir.
Pekerjaan etnometodologi menurut Garfinkel(1967) studi
tentang bagaimana orang-orang sebagai pendukung dari tatanan yang lazim
menggunakan sifat-sifat tatanan itu untuk agar bagi para warga dapat terjadi
ciri-ciri terorganisasi yang kelihatan nyata. Para ahli etnometodologiberupaya
bagaimana cara orang memandang, menjelaskan, dan memberikan tatanan di dunia
tempat hidupnya. Etnometodologi telah berhasil mengajak
peneliti menjadi peka terhadap isu, yaitu penelitian itu sendiri bukan upaya
ilmiah yang khas, tetapi lebih dilihat sebagai suatu pencapaian kerja yang
praktis (Bogdan dan Biklen, 1990). Etnometodologi tidak
bermakna ‘metode penelitian untuk mengumpulkan data’. Etnometodologi adalah
kajian terhadap proses yang dilakukan oleh individu-individu manusia untuk
membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari.
Subjek kajian etnometodologi bukanlah suku-suku terasing,
tetapi orang-orang biasa yang kita temui sehari-hari. Etnometodologi meneliti
hal-hal kecil dan sepele yang ‘hidup’ di masyarakat. Kaum peneliti etnometodologi bahkan
percaya bahwa penelitian itu sendiri tidak harus berarti kegiatan ilmiah yang
sangat unik, tetapi bisa juga dilakukan untuk hal-hal praktis dan urusan
sehari-hari. Etnometodologi menekankan dan mengakui fakta
bahwa masyarakat awam (lay public) mencoba mengakui penjelasan
sosial seperti yang dilakukan oleh ilmuwan. Lebih lanjut akal sehat mencoba
menjelaskan bahwa anggota masyarakat membuat dan menjalankan rasa sosial
(kesetiakawanan sosial) secara terus menerus.
c.
Fokus Kajian Etnometodologi
Di dalam etnometodologi, peneliti yang ‘berasal dari luar’
harus dapat bersatu dan terlibat langsung dalam proses penelitian bersama-sama
dengan ‘para aktor social setempat’. Peneliti harus bisa melebur di dalam
komunitas masyarakat yang diteliti, dan karenannya harus sanggup berada
bersama-sama dengan masyarakat yang diteliti dalam satu bejana sosial yang
kompleks. Hal yang lebih ditekankan dalam etnometodologi adalah
peristiwa terjadi secara wajar di masyarakat. Dalam peristiwa itu berlangsung
pola interaksi yang dapat dibaca dan diinterpretasi secara eksplisit. Pola
interaksi yang dimaksud adalah interaksi orang-perorang (aktor sosial) dan
interaksi antara orang dengan lingkungannya (institusi dan alam). Peneliti dan
para actor sosial akan terlibat didalam interaksi dan diskusi yang intens untuk
merumuskan masalah yang dihadapi.
Realitas sosial dihasilkan ‘dari dalam’ melalui prosedur interpretif para
anggotanya. Kondisi sosial para anggota bersifat selfgenerating.
Sifat ini menunjukkan dua sifat penting dari arti yang berhasil diungkap oleh
peneliti. Pertama, arti sebelumnya yang bersifat indeks, yaitu arti yang
tergantung pada koteks. Dalam arti, objek dan kejadian memiliki arti yang
ambigu atau tidak tentu, tanpa konteks yang jelas. Hanya melalui penggunaannya
yang bergantung pada situasi di dalam percakapan dan interaksi, abjek dan
kejadian menjadi berarti secara konkrit. Kedua, kondisi-kondisi yang memberikan
konteks bagi arti itu sendiri bersifat selfgenerating.
Kegiatan-kegiatan interpretif berlangsung secara simultan di dalam dan di
sekitar setting yang menjadi orientasinya dan yang dideskripsikannya. Jadi,
realitas yang dicapai secara sosial bersifat reflektif.
Dalam metode etnometodologi, data dalam penelitian sosial
adalah berupa tindakan actor sosial yang meskipun tidak dinyatakan secara
eksplisit atau dalam bentuk verbal yang lengkap, akan tetapi tetap diakui dan
dapat dikerjakan (percakapan melalui telepon, gelak tawa, tepuk tangan,
pernyataan interaktif sampai pada formulasi ucapan).
d.
Keunggulan dan
Kelemahan Etnometodologi
Dalam penggunaan metode etnometodologi dijumpai beberapa
keunggulan dibandingkan metode lainnya, diantaranya :
1) Longitudinal: sebagai suatu metode observasi yang sedang berlangsung, etnometodologidapat
merekam perubahanperubahan apa yang terjadi, dan tidak harus menyandarkan diri
pada ingatan partisipan seperti rekaman dalam penelitian survey cross
sectional.
2) Baik prilaku nonverbal maupun verbal, keduanya dipelajari oleh etnometodologi.
3) Etnometodologi memberikan satu
pemahaman tentang bagaimana narasumber menyadari atau merasa benar-benar dalam
keadaan sadar dan mengerti terhadap daftar pertanyaan yang ada dan bagaimana
mereka menjawabnya. Penelitian ini memberikan bukti yang bermanfaat bagi
peneliti dalam menganalisis ‘tidak ada respons’ seperti sering dialami oleh
penelitian survey
4) Etnometodologi memberikan satu
pemahaman tentang kekonsistenan reliabilitas yang terkadang didapat lewat
koder-koder (penyandi) yang mengikuti aturan akal sehatnya.
Disamping memiliki
keunggulan, etnometodologi memiliki kelemahan diantaranya:
1) Produk: Etnometodologi bukan merupakan pilihan yang baik
untuk meneliti dan mempelajari produk-produk sosial. Misalnya dalam melakukan
penelitian tidak seharusnya meneliti tentang sikap etnis tertentu dengan menggunakan etnometodologi,
meskipun bias menggunakannya untuk mempelajari proses terjadinya atau
berasalnya sikap tadi.
2) Studi dalam skala luas: Sikap masyarakat dalam skala luas lebih cocok
diteliti dengan menggunakan metode survey dibandingkan dengan etnometodologi. Disamping
itu, memang sikap adalah produk yang hanya baik jika diteliti dengan
menggunakan metode penelitian survey, atau metode lain yang bukan etnometodologi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan
sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional, yang
berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing
– masing dalam tatanan struktur masyarakat.
Teori
Struktural konflik merupakan teori sosial yang menjelaskan bahwa jika
masyarakat itu tidak setara, maka manusia tidak hanya dihambat oleh norma-norma
dan nilai-nilai yang dipelajari melalui sosialisasi. Teori ini berpendapat
bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang ia miliki oleh posisinya dalam
struktur ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka.
Interaksionisme
simbolik merupakan teori dengan kajian utamanya individu. Teori ini membahas
tentang interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol yang
digunakan adalah simbol signifikan seperti bahasa. Dengan menggunakan
simbol-simbol tersebut akan menghasilkan suatu makna yang akhirnya bisa
dimengerti orang lain.
Kemunculan metode etnometodologi sebagai bentuk
ketidaksetujuan terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional
yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Peneliti
konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori proposisi dan kategori
yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan
social menurut situasi dimana kenyataan social tersebut
berlangsung. Etnometodologi ditujukan untuk meneliti
aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat,
yaitu sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi asumsi yang
berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti
dari etnometodologi adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan
sehari-hari.
Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan
berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara
para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan.
Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan
pada komunikasi, bukan tatabahasa.
B. SARAN
Diharapkan kepada para pembaca dapat memahami makalah
ini dan dapat mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami
harapkan, untuk memotivasi penulis, agar dalam penyelesaian makalah ini bisa
memperbaiki diri dari kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Furchan, Arief,
1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Irawan, Prasetya,
2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok:
Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI.
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta
: Gramedia.
Jones,Pip. 2009. Pengantar
Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-modernisme. Jakarta:Yayasan
Pusaka Obor Indo
Moleong, Lexy J,
2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Ritzer, G. & Goodman D.J. 2007. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar