Selasa, 27 Januari 2015

Makalah Wawasan Teoritik

MAKALAH WAWASAN TEORITIK
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen pengampu : Asep Mulyana, M.Pd



Di susun oleh  :
-       Lisa Rachmawati
-       Lu’lu Mukhoyyaroh
-       Nurhalimah

BIOLOGI B / 3

FAKULTAS TARBIYAH / JURUSAN TADRIS IPA-BIOLOGI
SMT III
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)     
 SYEKH NURJATI CIREBON
2013



KATA PENGANTAR
Assalamu’ alaikum Wr. Wb
Alhamdulilah puji dan syukur atas ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan karunianya kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu dan makalah ini yang berjudul : “Wawasan Teoritik”.
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Sosiologi Pendidikan. Semoga makalah yang disusun oleh penyusun ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembaca.
Demikian makalah ini dibuat kami menyadari di dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan maka dari pada itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk mencapai kesempurnaan makalah ini agar lebih baik lagi, dan  atas kritik dan saran kami  ucapkan terima kasih.
Wassalamua’laikum Wr. Wb

                                                                        Cirebon , 27 September  2013
                                                                                              



                                                            Penyusun



BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Teori interaksionisme simbolik merupakan teori dalam sosiologi modern. Di dalamnya berintikan pemikiran penting dari berbagai tokoh sosiologi terutama George Herbert Mead. Teori ini memusatkan perhatian lebih kepada individu, tentang bagaimana individu berinteraksi dengan individu lain dengan menggunakan simbol-simbol yang signifikan berupa bahasa.
Interaksionisme simbolik berkembang pesat pada abad 19-20-an di Chicago. Mead merupakan cikal bakal munculnya teori interaksionisme simbolik dengan pemikirannya “The Teorethical Perspective”. Teori ini berfokus pada tindakan dan makna dalam masyarakat. Setelah memperoleh suatu makna, manusia akan bertindak sesuai dengan makna tersebut.
 Teori ini dipengaruhi juga oleh Max Weber dengan teori tindakan sosialnya. Selain itu pemikiran tokoh-tokoh lain seperti Herbert Blumer, Erving Goffman, Charles Horton Cooley dan William I. Thomas.
Dengan pembahasan mengenai teori interaksionisme simbolik diharapkan agar kita dapat lebih mengetahui fenomena sosial dengan pencermatan individu. Sehingga bisa untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dalam masyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Apakah pengertian dari struktural fungsional ?
2.    Apakah yang dimaksud dengan struktural konflik ?
3.    Apakah yang dimaksud dengan teori interaksionisme simbolik ?
4.    Apakah yang dimaksud dengan etnometodologi ?
5.    Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh sosiologi terhadap teori struktural fungsional, struktural konflik, interaksionisme dan etnometodologi ?

C.    TUJUAN
1.    Kita bisa mengetahui konsep-konsep dan pengertian dari struktural fungsional yang ada di masyarakat
2.    Kita bisa mengetahui konsep-konsep dan pengertian dari struktural konflik yang terjadi di masyarakat
3.    Dengan teori interaksionisme simbolik kita dapat  lebih mudah berinteraksi dengan orang  lain, serta dapat membaca karakter/, budaya orang lain dgn lebih mudah
4.    Kita bisa mengetahui arti dari etnometodologi yang terjadi di masyarakat sekitar.

























BAB II
PEMBAHASAN
A.      TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
a.    Pengertian Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional, yang berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing – masing dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi perhatian oleh banyak ilmuwan sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori – teori klasik fungsionalisme diperkenalkan oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim, serta fungsionalisme modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony Giddens.
Jika salah satu atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan sangat menganggu sistem kehidupan.
b.   Struktural Fungsional Klasik
Di awal – awal kelahiran teori fungsionalisme. August Comte berpikir agar ilmu – ilmu sosial tetap menjadi ilmiah, dan memandang biologi sebagai dasar melihat perkembangan manusia, hingga lahirlah ilmu sosiologi. Dalam kajiannya, teori fungsionalisme mempelajari struktur dalam masyarakat seperti halnya perkembangan manusia dalam struturasi organisme. Spencer menyebutkan, “Jika salah satu organ mengalami ‘ketidakberesan’ atau ‘sakit’, maka fungsi dari bagian tubuh yang lain juga akan terganggu.” Hal yang sama terjadi pada sebuah tatanan kesatuan dalam masyarakat. Jika salah satu atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan sangat menganggu sistem kehidupan.
Masyarakat, sebuah kesatuan yang terdiri dari beragam individu dengan latar belakang politik, budaya, sosial, dan ekonomi yang berbeda. Dalam pandangan Robert K. Merton yang diteruskan dari Comte, Spencer, dan E. Durkheim, masyarakat cenderung mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Jika perubahan tersebut kearah positif, maka dapat disebut sebagai masyarakat berfungsi, namun jika terjadi hal sebaliknya, maka dapat disebut sebagai masyarakat tidak berfungsi (disfungsional). Menurut Comte dan Spencer, perkembangan masyarakat bermula dari kesederhanaan hingga akhirnya menuju pada masyarakat positif, dengan pembagian struktur yang juga semakin kompleks, dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Dalam arti lain, seperti teori Karl Marx dalam pembagian kelas. Yang menyebutkan bahwa masyarakat berubah dari masyarakat primitif dengan struktur proletarian (pemilik tanah dan buruh), masyarakat Industri (pemilik modal dan buruh industri), lalu masyarakat modern (kapitalis).
Penekanan yang terjadi pada teori fungsionalis struktural bersumber pada bagaimana dalam perkembangan tersebut mencakup keragamannya, tercipta sebuah keseimbangan (equilibrium) atau dinamic equlibrium (keseimbangan berjalan). Notebene, berasal dari fungsi dan peran masing – masing individu yang ada dalam masyarakat.Parsons menyebutkan, keseimbangan dapat tercipta dengan konsep adaptation (adaptasi), goals (tujuan), integration (integrasi), dan latern pattern maintenance (pemeliharaan pola-pola). Adaptation, yang berarti dilaksanakan oleh masing – masing individu, terhadap pengaruh baru yang masuk. Integrasi, mencakup bagaimana fungsi dan peran dalam masyarakat saling terhubung (connected). Tujuan, jelas merupakan tujuan umum yang ingin dicapai oleh masyarakat tersebut dibantu oleh norma – norma yang dimiliki, dan sanksi terhadap pelanggaran norma. Meski terjadi konflik pun, dapat diatasi dengan penyesuaian – penyesuaian dan institusionalisasi (Nasikun, 1984 : 11). Lattern Pattern Maintenance, sub – konsep yang terakhir ini merupakan pemeliharaan pola – pola, dimana suatu masyarakat memiliki peluang untuk menjaga tatanan sistem yang sudah terbentuk. Sekali lagi, meski terdapat ‘penyakit sosial’ atau pelanggaran norma yang mungkin terjadi, tidak akan mampu merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Konsep AGIL oleh Parsons diatas digunakan untuk bertahan (defensed) dalam sebuah struktur fungsionalisme. Tentu, sebuah tatanan masyarakat akan dipengaruhi oleh subsistem yang ada didalamnya (struktur fungsionalisme) diantaranya ; subsistem ekonomi, perubahan ekologis (lingkungan tempat tinggal), politik, kebudayaan, dan sosialisasi (David Easton dan Talcott Persons). Karena menurut Mallinowski, terdapat empat unsur fungsionalisme mencakup (1) sistem norma yang memungkinkan kerjasama antar individu dalam masyarakat, (2) organisasi ekonomi (baik swadaya maupun bentukan pemerintah), (3) alat – alat pendidikan, (4) organisasi kekuatan (politik), yakni regulasi (peraturan/kebijakan) yang dibuat oleh pemerintah atau daerah setempat.
Struktural fungsionalisme berjalan melalui individu – individu (invidu Act) sebagai aktor dengan menjalankan fungsi dan perannya masing – masing melalui bentuk adaptasi terhadap subsistem struktural fungsionalisme, yang menghasilkan sebuah tindakan (unit aksi). Dari unit aksi inilah kemudian terjadi sistem aksi (act system) dimana masyarakat telah menemukan tujuan dari aksi tersebut. Sehingga terbentuklah sebuah tatanan masyarakat dengan keunikannya tersendiri. Nantinya, akan mengalami perubahan yang lebih kompleks.
c.    Struktural Fungsional Modern
Teori struktural fungsional juga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Jika diawal – awal lahirnya teori ini diprakarsai oleh Comte, Parsons, dan E. Durkehim dengan menyesuaikan jiwa jaman (Geiisweitch) saat itu, yakni keadaam dimana masyarakat masih begitu sederhana. Maka dalam perkembangan yang lebih lanjut, teori struktural fungsional klasik tersebut dinilai ‘kurang’ sesuai dengan perkembangan masyarakat saat ini yang lebih kompleks. Sehingga munculah teori – teori baru yang diteruskan oleh Robert K. Merton (1910 – 2003), dan Anthonny Giddens (1938 – sekarang). Robert K. Merton yang lebih menitikberatkan kajiannya terhadap perubahan sosial dan Anthonny Giddens dengan strukturisasi masyarakatnya.
Dalam masyarakat yang lebih kompleks, pembatasan terhadap teori fungsional dinilai perlu dilakukan, dimana perubahan – perubahan kerap terjadi. Robert K. Merton mengakui bahwa teori fungsionalisme klasik telah banyak membantu bagi perkembangan studi kemasyarakatan, namun tidak dapat menjawab permasalahan sosial secara keseluruhan. Menurut Merton dan Giddens, tindakan sosial (act social) tidak pernah terlepas dari struktur sosial. Raclidffe brown menyebutkan, pembagian dalam masyarakat beserta ide mengenai strata yang membedakan agama, ras, dan suku tersebut dipengaruhi oleh peraturan – peraturan dan hukum yang sedang berlaku di sekitar lingkungan masyarakat.
Ada keterkaitan antara struktur sosial dengan perilaku dan adaptasi individu. Lower class (masyarakat bawah) misalnya, cederung memiliki kesempatan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan masyarakat kelas atas. Tentu hal ini berakibat pada keresahan, frustasi, dan kekecewaan terhadap individu – individu tertentu, sehingga dapat menghasilkan perubahan sosial dengan adaptasi tertentu. Masih menurut Merton, adaptasi dalam teori struktural fungsional terbagi menjadi 5 jenis yakniconformity (keadaan tetap pada keadaan sosial yang lama), Inovation (terdapat perubahan cara untuk menggapai tujuan dalam masyarakat), Ritualism (bentuk penolakan terhadap pengaruh – pengaruh baru), Retreatism (bentuk penarikan diri individu dengan cara melakukan penyimpangan sosial), dan Rebellion yang berarti pemberontak, dan berani mengubah tatanan struktur sosial secara keseluruhan.
Dalam teori Giddens, perubahan sosial yang terjadi memerlukan struktur sosial (recurrent social practise) sebagai sarana dan sumber daya untuk melakukan tindakan sosial. Perubahan sosial yang juga dipengaruhi oleh subsistem (ekonomi, budaya, politik, dan sosialisasi) dan struktur teori fungsionalisme (norma, organisasi ekonomi, alat pendidikan, dan politik kebijakan pemerintah), membutuhkan jarak (space) saat praktiknya dimulai, notabene tidak semua ritual lama ditinggalkan oleh masyarakat.

B.       TEORI STRUKTURAL KONFLIK
a.    Pengertian
Teori  Struktural konflik merupakan teori sosial yang menjelaskan bahwa jika masyarakat itu tidak setara, maka manusia tidak hanya dihambat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dipelajari melalui sosialisasi. Teori ini berpendapat bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang ia miliki oleh posisinya dalam struktur ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka. Ini menekankan pengaruh perilaku dari distribusi kemudahan yang tidak merata yang dalam masyarakat biasanya. Jika  dikaitkan dengan teori Struktural konflik maka masyarakat cederung melihat posisi yang mana yang untung dan yang mana yang dirugikan.
Ada beberapa struktur ketidaksetaraan di masyarakat. Kelompok etnik mungkin tidak setara, muda dan tua mungkin tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin tidak setara, orang-orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda bisa tidak setara, orang-orang yang berbeda agama bisa tidak setara, dan seterusnya. Kemudahan yang tidak setara yang melekat pada kelompok tersebut juga bermacam-macam. Berbagai kelompok bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestise, kekayaan atau kombinasi unsur-unsur tersebut dengan kemudahan lainnya.
Berbeda dengan berbagai pusat perhatian teori konflik berbasis ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar tidak setara, teori-teori tersebut memiliki kesamaan aksioma bahwa asal-usul dan persistensi struktur ketidaksetaraan terletak pada dominasi atas kelompok-kelompok yang tidak beruntung itu oleh kelompok-kelompok yang beruntung. Menurut Wes Sharrock disebut teori konflik demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada masyarakat yang tidak setara adalah konflik kepentingan yang tak terhindari antara “yang berpunya” dan “ yang tidak berpunya”.
b.   Kaitan Dengan Teori
Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan “kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti itu terasing atau diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner” berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga, orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.
Saling ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut, sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa. Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah. Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.
Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi : alienasi dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya sendiri. Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika hanya menunjuk pada perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri sendiri atau orang lain tersebut, dengan kata lain terjadi suatu keadaan kurangnya kontrol seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx bergerak lebih jauh dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan secara empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris yang saling bertentangan.

C.      TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Artinya setiap hubungan sosial di mana seseorang itu terlibat merupakan satu cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Jadi maksudnya kita bisa melihat atau mengoreksi diri kita dengan melalui orang lain. Esensi dari teori ini adalah simbol dan makna. Makna adalah hasil dari interaksi sosial. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, ia berusaha mencari makna yang cocok dengan orang tersebut. Kita juga berusaha mengintepretasikan maksud seseorang melalui simbolisasi yang dibangun.
Seperti namanya, teori ini berhubungan dengan media simbol dimana interaksi terjadi. Tingkat kenyataan sosial sosial yang utama yang menjadi pusat perhatian interaksionisme simbolik adalah pada tingkat mikro, termasuk kesadaran subyektif dan dinamika interaksi antar pribadi.
Teori interaksionisme simbolik memberikan gambaran mengenai hakikat kenyataan sosial yang berbeda secara kontras yang terdapat dalam interaksionisme simbolik. Bagi interaksionisme simbolik, organisasi sosial tidak menentukan pola-pola interaksi. Organsisasi muncul dari proses interaksi.
Akar dari teori interaksionisme simbolik yang merupakan yang terpenting dalam karya Mead adalah  pragmatisme dan behaviorisme. Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang meliputi banyak hal. Ada beberapa aspek pragmatisme yang mempengaruhi orientasi sosiologis. Namun diantara empat aspek itu ada tiga yang penting bagi interaksionisme simbolik. Pertama, adalah memusatkan perhatian pada interaksi antara aktor dan dunia nyata. Kedua, memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukan sebagai struktur statis. Ketiga, arti penting yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial. Sementara behaviorisme berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang harus dilakukan.
Pemikiran  terpenting dalam interaksionisme simbolik adalah pemikiran  George H. Mead. Menurut Mead dari dunia sosial itulah muncul kesadaran, pikiran, diri, dan seterusnya atau yang terkenal dalam buku Mead yaitu Mind, Self, and Society. Menurut Mead dalam tindakan sosial ada empat tahapan yang saling berhubungan. Yaitu impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumiasi. Mead juga mengatakan bahwa dalam tindakan sosial ada mekanisme dasarnya yaitu sikap isyarat. Sikap isyarat ini bisa berupa isyarat signifikan dan isyarat nonsignifikan. Isyarat sisgnifikan ini berupa bahasa yang merupakan fakttor penting dalam pekembangan khusus kehidupan manusia. Bahasa ini menjadi simbol signifikan yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang bisa membuat isyarat suara tapi isyarat suara itu tak sisgnifikan bagi binatang lain. Hanya manusia yang bisa membuat simbol signifikan yang disebut bahasa. Bahasa ini punya fungsi menggerakkan tanggapan yang sama di pihak individu yang berbicara dan juga di pihak lannya. Isyarat signifikan ini merupakan isyarat yang jauh lebih efektif dan memadai untuk saling menyesuaikan diri dalam tindakan sosial menurut Mead daripada isyarat nonsignifikan. Yang paling penting dari teori Mead ini adalah fungsi lain simbol signifikan, yakni memungkinkan proses mental,berpikir. Simbol signifikan ini juga berarti interaksi simbolik. Artinya orang dapat saling berinteraksi tidak hanya melalui isyarat tapi juga melalui simbol sisgnifikan. Bahkan  interaksi dengan melalui simbol yang signifikan berupa bahasa, kita akan lebih mudah untuk saling memahami makna yang ingin disampaikan. Dengan begitu interaksi akan berlangsung jauh lebih efektif daripada hanya menggunakan isyarat atau simbol yang tak signifikan saja.
Menurut Mead pikiran dalam diri manusia adalah terletak pada proses sosial. Pikiran merupakan bagian integral dari proses sosial dan proses sosial ini hadir lebih dulu dari pikiran. Pendapat Mead ini ada benarnya. Jika yang muncul lebih dulu adalah pikiran, maka manusia tidak akan tahu tentang apa yang harus dilakukannya dengan pikiran yang dimiliki karena tidak adanya suatu proses sosial dalam kehidupannya. Proses sosial yang muncul lebih dulu akan menuntun atau memberikan arah kemana pikiran itu. Dalam konsep pikiran ini juga melibatkan konsep diri. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek dan objek. Diri muncul melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead diri baru muncul saat pikiran itu berkembang. Mustahil untuk memisahkan keduanya karena diri adalah proses mental. Diri juga berarti kemampuan untuk menempatkan diri secara tak sadar pada tempat orang lain dan bertindak seperti yang mereka lakukan. Sehingga orang dapat memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri.
Suatu analisa yang lebih terperinci mengenai konsep diri diberikan dalam model McCall dan Simmons mengenai identitas peran. Identitas-peran terdiri dari gambaran diri yang bersifat ideal yang dimiliki oleh individu sebagai orang yang menduduki berbagai posisi sosial. Identitas-peran ini diungkapkan secara terbuka dalam pelaksanaan peran, dan tingkat dukungan sosial yang diterima orang lain akan membantu menentukan pentingnya suatu identitas-peran tertentu dalam konsep diri seseorang secara keseluruhan.
Erving Goffman merupakan salah satu tokoh terkenal dalam teori sosiologi. Karya terpentingnya dalam  interaksionisme simbolik adalah Presentation of Self in Everyday Life. Ia terkenal dengan konsep dramaturgi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukkan drama di atas pentas yang di dalamnya ada yang disebut frontstage (panggung depan) dan backstage (panggung belakang). Juga ada bidang ketiga yaitu bidang residual, yang tak termasuk panggung depan dan belakang. Tujuan Goffman yang utama adalah untuk menunjukkan pentingnya proses-proses di mana individu berusaha untuk mementaskan suatu definisi sistuasi tertentu, dengan tekanan khusus yang diberikan kepada usaha untuk memperoleh dukungan sosial bagi konsep-dirinya, yang di proyeksikan si individu itu dalam interaksinya dengan orang lain.
Menurut Goffman, diri bukanlah milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri.
Kunci pemikiran Goffman adalah bahwa jarak peran adalah fungsi status sosial seseorang. Orang yang berstatus sosial tinggi lebih sering menunjukkan jarak sosial karena alasan yang berbeda dengan orang yang berada pada posisi status lebih rendah.

D.      ETNOMETODOLOGI
a.    Pengertian dan Konsep Etnometodologi
Neuman (1997) mengartikan etnometodologi sebagai keseluruhan penemuan, metode, teori, suatu pandangan dunia. Pandangan etnometodologi  berasal dari kehidupan. Etnometodologi berusaha memaparkan realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi, dan ini menjadikannya berbeda banyak dari sosiologi dan psikologi. Etnometodologi  memiliki batasan sebagai kajian akal sehat, yakni kajian dari observasi penciptaan yang digunakan terus-menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang sewajarnya. Secara terminology, etnometodologi diterjemahkan sebagai sebuah metode pengorganisasian masyarakat dengan melihat beberapa aspek kebutuhan, diantaranya: pencerahan dan pemberdayaan. Etnometodologi bukanlah metode yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk pada permasalahan apa yang akan diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari, metodenya untuk mencapai kehidupan sehari-hari. Etnometodologi didasarkan pada ide bahwa kegiatan sehari-hari dan interaksi sosial yang sifatnya rutin, dan umum, mungkin dilakukan melalui berbagai bentuk keahlian, pekerjaan praktis, dan asumsi-asumsi tertentu. Keahlian, pekerjaan praktis, dan asumsiasumsi itulah yang disebut dalam etnometodologi.
Tujuan utama etnometodologi adalah untuk mempelajari bagaimana anggota masyarakat selama berlangsungnya interaksi sosial, membuat sense of indexical expression. Istilah indexical tidak bermakna universal namun bergantung pada konteks (misalnya, ia, dia, mereka). Sifatnya terbatas pada yang diindeks atau dirujuk Subjek etnometodologi bukanlah anggota-anggota suku-suku terasing, melainkan orang-orang dalam perbagai macam situasi dalam masyarakat kita. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia di tempat mereka hidup.Pemanfaatan metode ini lebih dilatari oleh pemikiran praktis (practical reasoning) ketimbang oleh kemanfaatan logika formal (formal logic).
Etnometodologi ditakrifkan sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa. Masyarakat seperti ini bisa mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan dirinya sendiri (Ritzer, 1996).
b.   Sejarah Metode Etnometodologi
Dalam studi etnometodologi, cukup sederhana cara melihat validitas, karena biasanya disini tidak digunakan cara-cara konvensional dalam mengukur suatu konsep. Sebagai contohetnometodologi melihat konsep alienasi lebih mendekati teknik grounded theory, misalnya dengan cara mengobservasi peraturan-peraturan yang bias diamati dari luar, kemudian memberinya lebel atau identitas tertentu. Sementara reliabilitas dapat dilihat dari hasil pembandingannya dengan metode lain yang sejenis. Oleh sebab itu, disini sangat bergantung pada kekuatan interpretasi peneliti terhadap masalah sosial yang sedang dihadapinya. Namun karena masalah yang sama dilihat dari segi metode yang berbeda, maka hasilnya pun relatif tidak akan sama (berbeda pula). Kesalahan yang bisa dan sering muncul adalah pada kasus-kasus yang bersifat ambigu (mendua arti), atau kasus yang mempunyai peluang ditafsirkan berbeda-beda.
Harold Garfinkel dipertengahan tahun 1950-an, memperkenalkan istilah etnometodologi dalam bidang penelitian sosial yang merupakan inspirasi atas kreasi dari sosiologi fenomenologi. Garfinkel disaat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz pada New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel. Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi.
Dalam prakteknya, etnometodologi Grafinkel menekankan pada kekuatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Sementara itu, Jack Douglas menggunakanetnometodolgi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu, koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur kesengajaan (Furchan, 1992).
Garfinkel sendiri mendefinisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir.
Pekerjaan etnometodologi menurut Garfinkel(1967) studi tentang bagaimana orang-orang sebagai pendukung dari tatanan yang lazim menggunakan sifat-sifat tatanan itu untuk agar bagi para warga dapat terjadi ciri-ciri terorganisasi yang kelihatan nyata. Para ahli etnometodologiberupaya bagaimana cara orang memandang, menjelaskan, dan memberikan tatanan di dunia tempat hidupnya. Etnometodologi telah berhasil mengajak peneliti menjadi peka terhadap isu, yaitu penelitian itu sendiri bukan upaya ilmiah yang khas, tetapi lebih dilihat sebagai suatu pencapaian kerja yang praktis (Bogdan dan Biklen, 1990). Etnometodologi tidak bermakna ‘metode penelitian untuk mengumpulkan data’. Etnometodologi adalah kajian terhadap proses yang dilakukan oleh individu-individu manusia untuk membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari.
Subjek kajian etnometodologi bukanlah suku-suku terasing, tetapi orang-orang biasa yang kita temui sehari-hari. Etnometodologi meneliti hal-hal kecil dan sepele yang ‘hidup’ di masyarakat. Kaum peneliti etnometodologi bahkan percaya bahwa penelitian itu sendiri tidak harus berarti kegiatan ilmiah yang sangat unik, tetapi bisa juga dilakukan untuk hal-hal praktis dan urusan sehari-hari. Etnometodologi menekankan dan mengakui fakta bahwa masyarakat awam (lay public) mencoba mengakui penjelasan sosial seperti yang dilakukan oleh ilmuwan. Lebih lanjut akal sehat mencoba menjelaskan bahwa anggota masyarakat membuat dan menjalankan rasa sosial (kesetiakawanan sosial) secara terus menerus.
c.    Fokus Kajian Etnometodologi
Di dalam etnometodologi, peneliti yang ‘berasal dari luar’ harus dapat bersatu dan terlibat langsung dalam proses penelitian bersama-sama dengan ‘para aktor social setempat’. Peneliti harus bisa melebur di dalam komunitas masyarakat yang diteliti, dan karenannya harus sanggup berada bersama-sama dengan masyarakat yang diteliti dalam satu bejana sosial yang kompleks. Hal yang lebih ditekankan dalam etnometodologi adalah peristiwa terjadi secara wajar di masyarakat. Dalam peristiwa itu berlangsung pola interaksi yang dapat dibaca dan diinterpretasi secara eksplisit. Pola interaksi yang dimaksud adalah interaksi orang-perorang (aktor sosial) dan interaksi antara orang dengan lingkungannya (institusi dan alam). Peneliti dan para actor sosial akan terlibat didalam interaksi dan diskusi yang intens untuk merumuskan masalah yang dihadapi.
Realitas sosial dihasilkan ‘dari dalam’ melalui prosedur interpretif para anggotanya. Kondisi sosial para anggota bersifat selfgenerating. Sifat ini menunjukkan dua sifat penting dari arti yang berhasil diungkap oleh peneliti. Pertama, arti sebelumnya yang bersifat indeks, yaitu arti yang tergantung pada koteks. Dalam arti, objek dan kejadian memiliki arti yang ambigu atau tidak tentu, tanpa konteks yang jelas. Hanya melalui penggunaannya yang bergantung pada situasi di dalam percakapan dan interaksi, abjek dan kejadian menjadi berarti secara konkrit. Kedua, kondisi-kondisi yang memberikan konteks bagi arti itu sendiri bersifat selfgenerating. Kegiatan-kegiatan interpretif berlangsung secara simultan di dalam dan di sekitar setting yang menjadi orientasinya dan yang dideskripsikannya. Jadi, realitas yang dicapai secara sosial bersifat reflektif.
Dalam metode etnometodologi, data dalam penelitian sosial adalah berupa tindakan actor sosial yang meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit atau dalam bentuk verbal yang lengkap, akan tetapi tetap diakui dan dapat dikerjakan (percakapan melalui telepon, gelak tawa, tepuk tangan, pernyataan interaktif sampai pada formulasi ucapan).
d.   Keunggulan dan Kelemahan Etnometodologi
Dalam penggunaan metode etnometodologi dijumpai beberapa keunggulan dibandingkan metode lainnya, diantaranya :
1)   Longitudinal: sebagai suatu metode observasi yang sedang berlangsung, etnometodologidapat merekam perubahanperubahan apa yang terjadi, dan tidak harus menyandarkan diri pada ingatan partisipan seperti rekaman dalam penelitian survey cross sectional.
2)   Baik prilaku nonverbal maupun verbal, keduanya dipelajari oleh etnometodologi.
3)   Etnometodologi memberikan satu pemahaman tentang bagaimana narasumber menyadari atau merasa benar-benar dalam keadaan sadar dan mengerti terhadap daftar pertanyaan yang ada dan bagaimana mereka menjawabnya. Penelitian ini memberikan bukti yang bermanfaat bagi peneliti dalam menganalisis ‘tidak ada respons’ seperti sering dialami oleh penelitian survey
4)   Etnometodologi memberikan satu pemahaman tentang kekonsistenan reliabilitas yang terkadang didapat lewat koder-koder (penyandi) yang mengikuti aturan akal sehatnya.
Disamping memiliki keunggulan, etnometodologi memiliki kelemahan diantaranya:
1)   Produk: Etnometodologi bukan merupakan pilihan yang baik untuk meneliti dan mempelajari produk-produk sosial. Misalnya dalam melakukan penelitian tidak seharusnya meneliti tentang sikap etnis tertentu dengan menggunakan etnometodologi, meskipun bias menggunakannya untuk mempelajari proses terjadinya atau berasalnya sikap tadi.
2)   Studi dalam skala luas: Sikap masyarakat dalam skala luas lebih cocok diteliti dengan menggunakan metode survey dibandingkan dengan etnometodologi. Disamping itu, memang sikap adalah produk yang hanya baik jika diteliti dengan menggunakan metode penelitian survey, atau metode lain yang bukan etnometodologi.






















BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional, yang berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing – masing dalam tatanan struktur masyarakat.
Teori  Struktural konflik merupakan teori sosial yang menjelaskan bahwa jika masyarakat itu tidak setara, maka manusia tidak hanya dihambat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dipelajari melalui sosialisasi. Teori ini berpendapat bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang ia miliki oleh posisinya dalam struktur ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka.
Interaksionisme simbolik merupakan teori dengan kajian utamanya individu. Teori ini membahas tentang interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol yang digunakan adalah simbol signifikan seperti bahasa. Dengan menggunakan simbol-simbol tersebut akan menghasilkan suatu makna yang akhirnya bisa dimengerti orang lain.
Kemunculan metode etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Peneliti konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan social tersebut berlangsung. Etnometodologi ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat, yaitu sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometodologi adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari.
Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tatabahasa.

B.       SARAN
Diharapkan kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan, untuk memotivasi penulis, agar dalam penyelesaian makalah ini bisa memperbaiki diri dari kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.



























DAFTAR PUSTAKA
Furchan, Arief, 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya:     Usaha Nasional.
Irawan, Prasetya, 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu             Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI. 
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia.
Jones,Pip. 2009. Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Hingga    Post-modernisme. Jakarta:Yayasan Pusaka Obor Indo
Moleong, Lexy J, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Ritzer, G. & Goodman D.J.  2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar