Kamis, 05 November 2015

REVIEW BUKU STUDI ILMU HADITS

A.       PENDAHULUAN
Identitas Buku
Judul buku    : Studi Ilmu Hadits
Pengarang    : Drs, KH. M. Abduh Almahar,    M.Ag
Penerbit      : Gaung Persada Press
Reviewer    : Lisa Rachmawati

a.       Pengantar
   Hadits merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersumber dari Rasulullah SAW, berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya. Hadits yang diterima dari Rasul tersebut berjumlah 800 ribu, suatu jumlah yang sangat banyak ketimbang Al-Qur’an yang hanya sekitar 6 ribu ayat. Ilmu Hadits adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat-sifatnya. Akan tetapi para ulama menjadikan Ilmu Hadits sebagai ilmu yang berdiri sendiri, yang secara otomatis para ulama telah merumuskan secara khusus tentang batasan ilmu ini. Ada sebuah hadits yang artinya : “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Kau tidak akan pernah tersesat, selama kau berpegang teguh pada keduanya yakni; kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul”. (H.R. Al-Hakim) (Al-Suyuthi, TT : 130). Hadits diatas menunjukan bahwa Al-Qur’an dan Hadits merupakan petunjuk dan pedoman hidup umat Islam. Jika kedua pedoman itu dipegang teguh dalam mengarungi dunia, umat Islam akan selamat sejahtera dunia akhirat, demikian pula sebaliknya, Umat Islam akan tersesat selamanya, apabila meninggalkan kedua pedoman tersebut. Hadits diatas juga memberi petunjuk bahwa hadits meruapakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, keharusan mengikuti Sunnah Rasul sama halnya dengan kewajiban mengikuti ajaran Al-Qur’an, hal ini karena hadits merupakan mubayyin terhadap Al-Qur’an, yang oleh karenanya siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an secara utuh tanpa memahami Hadits.
b.      Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas, Adapun permasalahan yang akan dianalisis  sebagai berikut:
1.         Apa gagasan utama dari buku ini ?
2.         Apa sajakah manfaat kita jika kita memperdalam ilmu hadits ?
3.         Apa sajakah yang dibahas dalam buku ini ?
4.             Apa sajakah kekurangan dan kelebihan dari buku ini ?

B.  ISI BUKU
Bab 1 menjelaskan tentang Pengertian dan struktur tentang hadis yang terdiri dari pengertian Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar serta menjelaskan tentang struktur dari hadis itu sendiri. Yang pada intinya Pengertian hadis adalah hadits secara terminologis sinonim dengan Sunnah, keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul. Akan tetapi bila disebut kata Hadits, umumnya dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW setelah kenabian, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir. Dengan demikian Sunnah lebih luas pengertiannya daripada hadits. (Al-Khatib, 1998:8). Sunnah dalam terminologi Ulama’ Hadits adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik dan non-fisik ataupun sepak terjang beliau sebelum diutus menjadi Rasul, seperti tahannus (berdiam diri) di gua Hira, ataupun sesudah menjadi Rasul, baik berupa konsekuensi hukum syara’ ataupun tidak. Adapun yang dimaksud dengan Khabar secara terminologis ialah verita dari Nabi SAW, sahabat maupun dari Tabi’in (Ash-Shiddiqi, 1997:14). Dikatakan bahwa antara Hadits dan Khabar terdapat makna umum dan khusus yang mutlak. Jadi setiap Hadits adalah Khabar, tetapi tidak sebaliknya.
Menurut terminologi jumhur ulama yang dimaksud dengan Atsar sama artinya dengan Khabar dan Hadits. Kata Khabar dan Atsar disebut secara mutlak, dan dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan Tabi’in. Hanya saja fuqaha Khurasan menyebut Mauquf dengan sebutan Atsar dan Marfu’ dengan sebutan Khabar.
Struktur Hadits meliputi Sanad, Matan dan Mukharij (Rawi). Kita perhatikan sebuah terjemahan hadits yang mengandung ketiga istilah tersebut. Imam Bukhori meriwayatkan yang artinya :
Berkata Imam Bukhori: Telah menceritakan kepada kami Adam (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Sa’id Al-Maqburiy dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda: “ Sesungguhnyya kami akan datang kepada manusia satu zaman dimana seseorang tidak akan memperdulikan lagi tentang harta yang ia peroleh, apakah dari (hasil) yang halal atau dari (hasil) yang haram.” (H.R. Bukhari)
Rangkaian kata “Berkata Imam Bukhari.....” disebut Sanad, redaksi Hadits “Sesungguhnya akan datang.....” disebut Matan, dan sebagai penutup Hadits “Imam Bukhari” disebut Mukhaarij (Rawi).
       Bab 2 Menjelaskan tentang Hadits Seabagai Sumber Ajaran Islam dengan membahas Dalil Kehujjahan Hadits dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hadits meruapakan ajaran Islam banyak kita jumpai, diantaranya seperti dikemukakan oleh ‘Ajaj Al-Khitab (1998:23-31) sebagai berikut : (Q.S. An-Nisa’ : 136) , (Al-A’raf: 158) , (Q.S. An-Nisa’ : 59) , (Q.S. Al-Maidah : 92) , (Q.S. An-Nisa’ : 80) , (Q.S. Al-Hasyr : 7) dan (Q.S. An-Nisa’ : 113) serta masih banyak lagi. Salah satu dalil kehujjahan hadits dari hadits Nabi SAW sebagai berikut :
Aku telah tinggalkan kepada kamu dua hal yang sekali-kali kamu tidak akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (H.R. Imam Malik)
Hadits diatas menunjukan bahwa Rasulullah SAW diberi Al-Kitab dan Sunnah dan mewajibkan kita berpegang teguh kepada keduanya kerta mengambil apa yang ada pada Sunnah seperti mengambil apa yang ada pada Al-Kitab.
Fungsi Hadits terhadap Al-Quran yang dikemukakan dalam buku ini yaitu Bayan Ta’kid dan Bayan Tafsir. Fungsi Hadits sebagai Bayan Ta’kid maksudnya ialah menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat dalam isi kandungan Al-Qur’an. Dan fungsi hadits sebagai Bayan Tafsir yaitu memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an.
       Bab 3 menjelaskan tentang Hadits Pada Masa Rasulullah SAW yang membahas Pengantar dan Penyampaian haditsnya. Ada beberapa sahabat yang popular dalam meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi tidak suka bila haditsnya ditulis, ada juga yang memakruhkan penulisan hadits, sementara itu beberapa hadits justru mengizinkan penulisan hadits.
Dalam menerima ajaran agama Islam dari Rasulullah terdapat beberapa point yang dapat mewakili sekaligus mencerminkan penyampaian hadits dari Rasulullah, diantaranya melalui Majlis Rasulullah, Peristiwa yang terjadi pada Rasulullah, Kejadian yang menimpa umat Islam dan Perbuatan Rasulullah yang disaksikan Sahabat.
       Bab 4 menceritakan tentang Hadits Pada Masa Sahabat yang akan membahas tentang pengertian sahabat , metode hadits pada masa sahabat , perjalanan mencari sebuah hadits, sahabat terbanyak dalam periwayatan hadits, nama-nama sahabat dalam meriwayatkan hadits dan kritikan terhadap Abu Hurairah . Pada masa sahabat ini dikenal sebagai Masa Pengetatan Periwayatan Hadits. Metode hadits pada masa sahabat, dalam meriwayatkan hadits, ada dua jalan, yaitu : Metode periwayatan secara lafzi dan periwayatan secara maknawi. Hanya karena khawatir lupa akan hadits, seorang sahabat perlu mengukuhkan dan mengecek kesahihannya kepada sahabat yang lain, dengan cara melakukan perjalanan ilmiah dari Hijaz ke Mesir, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Ayyub. Sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasul ada tujuh orang , yaitu Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar ibn Al-Khattab, Anas ibn Malik, Aisyah ibn Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah ibn Abbas ibn Abu Muthalib, Jabir ibn Abdillah Al-Anshari dan Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’d ibn Malik ibn Sinan Al-Anshari. Banyak sekali nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadits yang tersebar di berbagai negara yang tidak bisa kita sebutkan satu-satu disini. Kedudukan Abu Hurairah sebagai perawi hadits, yang kedhabithannya luar biasa, tak luput dari kritikan yang dilakukan oleh para sahabat Rasul seperti Ibnu Abbas dan Siti Aisyah.
       Bab 5 menjelaskan tentang Hadits pada masa Tabi’in. Menurut para ahli hadits, Tabi’in adalah orang yang pernah bertemu dengan seorang sahabat atau lebih walaupun tidak sempat (ikut) bersamanya; dan seseorang dapat dikategorikan tabi’ bila hanya pernah melihat sahabat (Al-Khatib, 1989 : 80). Dalam bab ini membahas tentang Cara menerima dan menyampaikan hadits pada masa tabi’in dengan sumber penerimaan hadits bagi tabi’in, perhatian tabi’in dalam pengajaran hadits, metode tabi’in dalam menjaga Sunnah yaitu Kehati-hatian (ihtiyath) dalam menyampaikan atau meneroma hadits dan mencari kepastian (Al-Tatsabbut) dalam penerimaan hadits,  beberapa asas yang dipakai tabi’in dalam majlis hadits yaitu dengan memperhatikan kemampuan penerima hadits, tabi’in tidak menyampaikan hadits kecuali yang mampu, harus mempelajari Al-Qur’an terlebih dahulu, menjauhi hadits munkar, syadz dan semacamnya, penyampaian bervariasi (Al-Tanw’ wa Al-Taghyir daf’an li Al-Milal), penghormatan terhadap hadits Nabi SAW dan Muzakarah. Selain itu dalam bab ini juga membahas tentang Munculnya gerakan pemalsu Hadits dan penanggulangannya dengan Iltizam Al-Isnad, Mudha’afat Al-Nasyat Al-‘ilmiy wa Al-Tatsabbut fi Al-Hadits, Tatabbu’ Al-Kadzbah, Bayan Ahwal Al-Ruwat, Peletakan dasar kaidah untuk mengetahui kebohongan suatu hadits dan Tadwin Al-Hadits. Jumlah tabi’in tidak dapat dihitung secara pasti, sedangkan sahabat sendiri berjumlah lebih kurang seratus ribu orang yang tersebar diseluruh pelosok wilayah Islam yang dapat saja dijumpai oleh ribuan Tabi’in.
       Bab 6 menjelaskan tentang Periwayatan Hadits Bi Al-Lafzhi dan Bi Al-Makna. Yang dimaksud dengan periwayatan bi Al-Lafzhi adalah memindahkan kata-kata Nabi SAW sesuai dengan aslinya (Al-Jawabi, TT : 207). Mereka yang meneguhkan setiap apa yang diterima Nabi dan tidak meriwayatkan kepada yang lain kecuali setelah menelaah huruf demi huruf dan memahami maknanya. Mereka tidak merubah sedikitpun atau memalingkan yang didengarnya dari Nabi SAW. Sedangkan Bi Al-Makna adalah meriwayatkan dengan redaksi yang berbeda tetapi sesuai dengan yang dimaksud Nabi, tentu redaksi yang berbeda ini membutuhkan sejumlah syarat yang ketat (Al-Jawabi, TT : 207). Mereka umumnya meriwayatkan karena hal darurat dan kesulitan untuk secara terperinci menghafal lafazh demi lafazh secara terperinci. Dalam bab ini juga menjelaskan tentang pandangan Ulama terhadap Periwayatan bi al-Lafzhi  dan bi al-Makna. Dan juga memberitahukan beberapa contoh hadits.
       Bab 7 didalamnya menjelaskan tentang Hadits maudhu’ atau disebut juga dengan Hadits palsu. Dalam sejarah, kegiatan pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang memusuhi Islam, tetapi juga dilakukan kalangan pemeluk Islam sendiri. Pengertian Maudhu’ menurut terminologi ulama hadits adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan, ataupun beliau taqrirkan (Al-Khatib, 1981 : 415). Berdasarkan fakta historis, dapat diketahui bahwa pemalsuan hadits itu bermula dari tujuan-tujuan politik yang mulai muncul menjelang pertengahan abad pertama Hijriyah, kemudian berkembang pada masalah akidah dan kepentingan-kepentingan lain yang hampir mencakup seluruh aspek kehidupan. Di bab ini juga membahas tentang faktor-faktor pendorong timbulnya Hadits maudhu’, pemalsuan Hadits yang disengaja disebabkan pertentangan politik, usaha kaum zindik, perbedaan Ras dan Fanatisme suku, negara dan Imam, Para tukang Cerita (Menarik simpati kaum awam), senang kebaikan tanpa pengetauan Agama yang cukup, perbedaan madzhab dan Teologi dan disebabkan karena ingin menjilat atau mencari muka kepada penguasa. Ada juga pemalsuan Hadits yang tidak disengaja. Ada pembahasan tentang Ciri-ciri Hadits Maudhu’ , usaha para ulama membendung Hadits Maudhu’ , Hukum memalsukan dan meriwayatkan Hadits, tokoh-tokoh Hadits Maudhu’ dan tentang kitab-kitab Hadits yang memuat Hadits Maudhu’ .
       Bab 8 menjelaskan tentang ‘Ilm Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Yang terdiri dari Pengertian Ilmu Al-Jarh dan Al-Ta’dil, legalitas ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil, sejarah perkembangan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil, syarat pentarjihan dan penta’dilan serta cara mengetahui keadilan perawi, tingkatan Jarh dan Ta’dil , juga Literatur Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil sendiri mempunyai posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu Hadits, ini untuk menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadits. Kedudukan ilmu ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian Hadits atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadits. Secara terminologis, Nurudin Al-‘Atar mendefinisikan Al-Jarh sebagai kecacatan seorang perawi yang disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau ke-dhabit-annya.(Al-‘Atar, 1979 : 92) Sedangkan Al-Ta’dil berarti membersihkan seorang perawi dan menetapkannya bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit.(Al-‘Atar, 1979 : 92)
Tentang definisi ‘Ilm Al-Jarh wa Al-Ta’dil  Al-Khatib (1989 : 261) mengatakan sebagai Ilmu yang membahas keadaan perawi dari segi penerimaan atau penolakan riwayatnya. Legalitas ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil adalah keberadaanya didasari oleh alasan Syar’i (naqli) dan alasan obyektivitas ilmu (aqli). Sejarah perkembangan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil awalnya muncul bersamaan dengan tumbuhnya tradisi periwayatan dalam Islam. Di bab ini juga ditulis beberapa syarat dan kriteria bagi orang yang hendak melakukan praktek Tarjih dan Ta’dil. Terdapat tingkatan Jarh dan Ta’dil yang masing-masing mempunyai 6 peringkat yang menurut ahli ulama ada tingkatan yang memeperbolehkan Hadits tersebut diterima dan ada pula tingkatan yang membuat Hadits tersebut ditolak. Dengan melihat perjalanan sejarah ilmu ini, nampaknya masih terbuka lebar bagi kalangan pemerhati Hadits Nabi untuk berkiprah di dalamnya. Semakin banyak ilmuwan dibidang ilmu Jarh wa Ta’dil maka keterpeliharaan hadits-hadits  Nabi semakin terjamin, karena merekalah sesungguhhya penjaga warisan Nabi.
       Bab 9 memaparkan tentang Ulumul Hadits, Sejarah dan Perkembangannya yang membahas tentang Pengertian Ilmu Hadits, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits, Macam-macam Ilmu Hadits dan Tokoh-tokoh Ilmu Hadits dan Karya Ilmiahnya. Ulumul Hadits sendiri atau biasa disebut dengan Ilmu Hadits adalah Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat-sifatnya. Sejarah dan perkembangan Ilmu Hadits cikal bakalnya sebenarnya mulai tumnbuh sejak masa Rasulullah SAW, sejalan dengan penyampaian Hadits-hadits kepada para sahabat. Setelah Rasul wafat umat Islam menghadapi kesulitan dalam hal penerimaan atau periwayatan suatu hadits, terutama hadits-hadits yang hanya diterima yang disampaikan oleh seorang saja. Selanjutnya, tentang perkembangan Ilmu Hadits ini, Syeikh Nurudin Al-‘Athar, dalam karyanya  Al-Madkhal ila ‘Ulumil Hadits (Al-Syahrazuri, 1972 :  18-19), membagi ke dalam tujuh periode.
Cabang-cabang ilmu hadits yang hampir tak terhitung jumlahnya itu, diantaranya adalah Ilmu Rijalul Hadits, Al-Jarh wa Al-Ta’dil, ‘Ilmu ilal Hadits, ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadits, ‘Ilmu Gharieb Al-Hadits, ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits, ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits, ‘Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Di bab ini juga terakhir mambahas tentang tokoh-tokoh ilmu hadits dan karya-karya ilmiahnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu disini.
       Bab 10 ini akan menjelaskan tentang Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitasnya. Yang terdiri dari  Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
Pengertian Hadits Mutawatir sendiri adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan semuanya bersandar pada panca indera. Hadits Mutawattir terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Hadits Mutawattir Lafzhiy dan Hadits Mutawattir Ma’nawiy.
Hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rawi-rawi pada thabaqat pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya pada hadits tersebut, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih. Hadits Ahad dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Masyhur, Aziz dan Gharib.
Hadits Mutawattir berfaidah sebagai ilmu dharuriy’ , suatu keharusan untuk menerimanya dengan keyakinan yang qath’iy (pasti). Sedangkan Hadits Ahad berfaidah sebagai ilmu nazhariy’, harus diadakan penelitian pada status hadits ini, jika akan dijadikan sebagai hujjah atau dalil.
       Bab 11 ini akan memaparkan tentang Pembagian Hadits ditinjau dari Segi Kualitasnya. Persoalan yang muncul seputar topik ini yaitu, pembagian hadits ke dalam tiga klasifikasi yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dha’if.
Suatu Hadits dapat dinilai shahih apabila memenuhi syarat-syarat berikut : Sanadnya bersambung, Perawinya adil, perawinya dhabith, haditsnya bukan Hadits Syad dan Haditsnya bukan Hadits Mu’allal. Para ahli membagi hadits ke dalam dua bentuk Shahih li Dzatihi (dengan sendirinya) dan  Shahih li Ghairihi (Shahih karena ditopang hadits yang lain). Hukum mengamalkan Hadits Shahih menurut para ahli hadits adalah wajib.
Seperti halnya Hadits Shahih, Hadits Hasan pun terbagi atas dua bentuk yaitu, Hasan li Dzatihi  dan Hasan li Ghairihi. Hukum mempergunakan Hadits Hasan dimana dapat dijadikan Hujjah (sandaran dalam beramal) (Al-Nawawi, 1991 : 68). Hadits Dha’if adalah Hadits yang tidak memuat semua syarat-syarat  Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Sebaiknya Hadits Dha’if tidak dipergunakan dalam beramal. Termasuk dalam Fadhil Al-A’mal dan Targhib wa Tarhib. Apabila masih ada Nash Al-Qur’an dan Hadits Shahih dalam persoalan yang dibahas atau dibicarakan.
Bab 12 ini adalah bab terakhir yang akan membahas tentang Ilmu Takhrij Al-Hadits yang terdiri dari Pengertian Takhrij, Sejarah dan tujuan ilmu Takhrij, Metode Takhrij dan Analisis : Takhrij sebagai Ilmu Penelitian. Takhrij sendiri maksudnya adalah sipulan menyebutkan hadits-hadits dengan sanad-sanad miliknya sendiri dan dalam sanad bertemu dengan perawi dalam sanad pengarang kitab sebelumnya, baik pada pihak guru yang diatas lagi, maka pengarang yang kedua disebut mustakhrij.Sejarah dan tujuan ilmu Takhrij menurut Al-Mahdi (TT : 4) bahwa ilmu takhrij pada mulanya hanyalah berupa tuturan yang belum tertulis menjadi sebuah kitab. Ada beberapa metode takhrij yaitu sebagai berikut :
1.    Takhrij melalui perawai hadits pertama
2.    Takhrij melalui lafadz pertama matan hadits
3.    Takhrij menurut kata-kata dalam matan hadits
4.    Takhrij melalui tema hadits, dan
5.    Takhrij berdasarkan status hadits (Al-Thahhan, 1991 : 35)
Langkah-langkah penelitian hadits yaitu sebagai berikut :
1.    Melacak hadits di kitab Mana berada
2.    Menyusun Struktur Sanad perawi Hadits, dan
3.    Melakukan Verifikasi persambungan Sanad.

C.  GAGASAN PENTING
Buku ini berisi tentang Pengertian dan Struktur hadits, Hadits sebagai sumber ajaran Islam, Hadits pada masa Rasulullah pada masa sahabat dan pada masa Tabi’in, Periwayatan hadits bi al-Lafzdi dan bi al-Ma’na, Hadits Maudhu’ (palsu), Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, Ulumul Hadits, Hadits ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya serta berisi tentang Ilmu Takhrij al-Hadits sebagai petunjuk praktis untuk melakukan penelusuran dan penelitian tentang keshahihan hadits.



D.  ANALISIS BUKU
Keunggulan dan Kelemahan buku :
Di dalam Ilmu Hadits ini, kita mengetahui tentang pengertian, istilah-istilah hadits, sejarah dan perkembangan ilmu Hadits, hadits ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya, hadits palsu dan masih banyak lagi. Jadi, tidak ada salahnya bagi para santri mengoleksi buku ini agar bisa memperdalam pengetahuan tentang Haditsnya . Adapun bagi para umat Islam dan kaum terpelajar mahasiswa perguruan tinggi Islam khususnya, buku ini dapat menjadi sumber acuan untuk memahami Ilmu Hadits dan mendapat wawasan ilmu keislaman klasik yang pada saat ini sering dilupakan oleh umat Islam pada khususnya. Dalam buku ini, pengarang mencoba membahas segala sesuatu tentang hadits sampai dengan perkembangannya secara gamblang membuat buku ini menarik untuk dipelajari.
Namun, buku ini agak sedikit kurang dipahami karena terlalu banyaknya sub-sub judul yang menjadi penjelasan terhadap pokok bahasannya. Sehingga dalam  pemahamannya ditemukan berbagai kesulitan. Kemampuan penulis dalam menjabarkan contoh tidak begitu menekankan kepada inti permasalahannya, sehingga diperlukan analisis dan pemahaman yang mendalam.
E.   PENUTUP
Kesimpulan :
Hadits merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersumber dari Rasulullah SAW, berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya. Hadits yang diterima dari Rasul tersebut berjumlah 800 ribu, suatu jumlah yang sangat banyak ketimbang Al-Qur’an yang hanya sekitar 6 ribu ayat. Di dalam buku ini menjelaskan tentang pengertian Ilmu Hadits yang berarti ilmu hadist adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat-sifatnya. Di buku ini juga membahas istilah-istilah hadits, sejarah dan perkembangannya, hadits palsu juga memaparkan hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya, dan juga ilmu cara dan langkah-langkah untuk menganalisis suatu hadits. Buku ini sangat cocok bagi para umat Islam dan kaum terpelajar mahasiswa perguruan tinggi Islam khususnya, buku ini dapat menjadi sumber acuan untuk memahami Ilmu Hadits dan mendapat wawasan ilmu keislaman klasik yang pada saat ini sering dilupakan oleh umat Islam pada khususnya. Namun, buku ini agak sedikit kurang dipahami karena terlalu banyaknya sub-sub judul yang menjadi penjelasan terhadap pokok bahasannya. Sehingga dalam  pemahamannya ditemukan berbagai kesulitan.

Saran:

Sebaiknya buku ini disusun lebih sistematis lagi, agar mudah dipahami bagi para kalangan pelajar atau mahasiswa yang membacanya. Dan dalam menjabarkan contohnya pun sebaiknya lebih menekankan pada inti permasalahannya sehingga bisa lebih mudah untuk dipahami. 

1 komentar: