A. ASAL-USUL
DESA DOMPYONG
Terbentuknya suatu daerah/wilayah
tentunya terdapat sejarah atau asal-usul didalamnya yang menjadikan daerah
tersebut menjadi lebih bermakna. Kali ini saya akan memaparkan sejarah dari
desa Dompyong dimana di desa ini adalah tempat lahirnya Ibu saya. Dari beberapa
sumber yang telah saya wawancarai ternyata mereka memiliki versi masing-masing
tentang sejarah terbentuknya desa Dompyong. Menurut sumber yang pertama yaitu
Hj. Maemunah yang kebetulan adalah kakak dari kakek saya sendiri. Menurut
cerita beliau Jaman dahulu kala ada seorang Mbah Kuwu dengan julukannya Mbah
Blendang dia berasal dari Cigedog Kuningan, dia adalah pekerja di Kerajaan
Pangeran Sutajaya di daerah Pagebangan. Kerjanya itu menjadi tukang
mengantarkan surat kesana-kesini menggunakan kendaraan kuda, lama-kelamaan dia
bekerja seperti itu Pangeran Sutajaya memerintahkan kepadanya untuk tinggal di
daerah hutan (yang sekarang desa Dompyong), disana ia diperintahkan untuk
membuat gubug/saungan untuk tempat tinggalnya, lama dia tinggal disana dan
sekalian bolak-balik untuk melaksanakan tugasnya untuk mengantarkan surat.
“Ditengah-tengah tugasnya pada suatu
hari Pangeran Sutajaya memberitahu kepada Mbah Glendang di wilayah perbatasan sebelah
selatan ada sebuah pohon yang sangat besar dan tua, kemudian Mbah Glendang
diperintahkan oleh Pangeran Sutajaya untuk membuat sayembara yang isinya barang
siapa yang bisa menebang pohon besar itu maka akan diberi hadiah yaitu tanah di
sekitar wilayah pohon tersebut”.[1]
Cerita emak Hj.Siti Maemunah kepada saya. Tetapi ternyata tidak ada yang bisa
menebang pohon besar itu, sampai akhirnya Mbah Kuwu mencoba untuk menebang
pohon itu dan ternyata tumbanglah pohonnya dengan mudah. “tidak tahu karena
kekuatannya atau karena bantuan jin, pohon yang sudah ratusan tahun itu dengan
mudahnya ditumbangkan oleh Mbah Kuwu Glendang”[2].
Dan akhirnya Pangeran Sutajaya pun
menepati janjinya untuk menghadiahkan wilayah disekitar pohon itu kepada Mbah
Kuwu Glendang. Setelah pohon itu ditebang Mbah Kuwu beserta masyarakat
disekitar sini bingung akan dijadikan apa sebongkah pohon besar ini. “Jadi,
masyarakat pun memutuskan pohon itu di potong menjadi tiga bagian saja. Dan
akhirkan ketiga bagian pohon itu pun dijadikan untuk dibuat bedug”.[3]
Lanjut
cerita, menurut Emak Hajah Pembuatan bedug itu dibantu oleh semua warga
disekitar sini, bedug itu dibuat dengan mengeborkan jarum atau dicolok gitu ke
bagian bedug itu oleh warga sekitar sampai besar boran itu dan tosblonglah
bedug itu dengan jarum besar disekitarnya yang diwilayah sini jarum itu
disebutnya ‘DOM’. Setelah bedug itu jadi lalu dipasangkan di Masjid yang
pertama, “dulu tempat itu masih bukan sebuah masjid, tapi hanya berupa saungan
yang bisa dijadikan tempat shalat saja”.[4]
Cerita emak Hajah kemudian
Setelah dipasangkan di Masjid itu
bedug pun kemudian ditabuh oleh Mbah Kuwu Glendang. Pada saat ditabuh semua
orang berdatangan kesana, tempat itu pun menjadi ramai sekali oleh sorak-soray
warga yang merasa senang dengan adanya bedug diwilayah sini. “Saat ditabuh itu
semuanya surak, orang-orang semua
kumpul mendengarkan bedug itu ditabuh dan berdataganlah semua orang dengan ngarapyong dengan senang gembira karena
ada bedug tuh”[5]
Lanjut cerita si Emak Hajah.
Mendengar
sorak-soray warga ngarapyong mendengar suara bedugnya yang berbunyi ‘PYONG’,
maka petugas-petugas yang berada disana jadinya memutuskan untuk menamai daerah
ini dengan nama desa ‘DOMPYONG’. DOM yang berarti jarum yang dibor kan pada
sisi bedug dan PYONG yang berarti ramai sorak-soray warga yang ngarapyong dan karena
bunyi dari suara bedug saat ditabuhkan berbunyi pyong-pyong-pyong. Dua kata itu disatukan jadi menjadi kalimat
DOMPYONG.
Lanjut cerita dari ketiga bagian
pohon yang dijadikan bedug itu, emak bercerita bahwa “Yang satu bagian bedugnya
disimpan di Masjid di wilayah Gebang yang sekarang tertutupi oleh pasar, yang
bedug kedua yang dibuat dari bagian tengah pohon itu disimpan di Masjid di
wilayah sendiri yang sekarang dikenal dengan Masjid As-Sa’adah tempat bersejarah
dimana asal kata desa Dompyong terciptakan, dan bedug yang ketiganya dibawa
diwilayah Mertapada, Astanajapura, Sindang yang merupakan bagian pucuk dari
pohon besar itu”.[6]
“Jadi,
desa Dompyong ini adalah berasal dari hadiah karena bisa menebang pohon yang
akhirnya dijadikan bedug.”[7]
Tutur beliau diakhir ceritanya.
Itulah pemaparan cerita dari sumber
yang pertama yang awalnya menggunakan Bahasa Sunda yang sudah ditranslate oleh
saya sendiri menggunakan Bahasa Indonesia agar lebih bisa dimengerti oleh
pembaca.
Berbeda dengan sumber yang pertama,
sumber yang kedua ini yaitu Bapak Darsono yang kebetulan merupakan mantan kuwu
desa Dompyong periode 1994-2003. Ia bercerita Pada jaman dahulu itu ada suatu
wilayah yang disebut perdikan yaitu Wilayah Pagebangan, yang dipimpin oleh
Pangeran Sutajaya. Pada masa kekuasaan Pangeran Sutajaya itu beliau berniat
untuk memperluas wilayah kekuasaannya lagi sampai ke Selatan. Pada suatu ketika
Pangeran Sutajaya itu memerintahkan seorang pengawalnya atau tangan kanannya
gitu untuk membuat tempat peristirahatannya atau sebuah Taman disuatu tempat
yang sunyi dan tersembunyi ditengah hutan (dulu disebutnya itu ditengah alas),
yang sekarang tempat peristirahatannya itu dikenal dengan Blok Taman Sari yang
berlokasi di Dusun II. Konon pada saat itu wilayah Perdikan Pagebangan itu
keadaan masyarakatnya gemah ripah loh jinari. Ditengah-tengah perjuangannya
Pangeran Sutajaya dalam memangku kekuasaannya, yang tujuannya untuk mencapai
masyarakat yang tentram lahir batin, Pangeran Sutajaya itu berniat untuk
memperluas wilayahnya dengan cara membabad hutan-hutan. Dulu itu wilayah di
Pagebangan sangat ramai dan mengalami kemajuan yang pesat, jadi banyak
orang-orang yang berdatangan kesana yaitu orang-orang dari Roragung untuk berjualan
dan mencari nafkah. Dengan kemudahan untuk mencari nafkah itu banyak orang yang
menetap diwilayah Pagebangan. Dalam memperluas wilayah dengan cara membabad
alas/hutan yang diceritakan tadi, ada sebatang pohon yang cukup besar, pohon
itu namanya Pohon Widagori. Pohon Widagori itu sulit ditebangnya hingga dalam
penebangan pohon tersebut banyak orang yang jatuh korban atau meninggal karena
angkernya pada jaman itu. Dalam kesulitan Pangeran Sutajaya untuk menyuruh
penebangan pohon tersebut, Pangeran Sutajaya memutuskan untuk mengadakan
sayembara, dalam sayembaranya itu katanya Pangeran Sutajaya menjanjikan untuk
memberikan hadiah, barang siapa yang mampu menebang Pohon Widagori itu akan
diberi kekuasaan atau padukuhan disebelah selatan. Adapun Pohon Widagori tersebut lokasinya berada di daerah Wanasari yang
sekarang dikenal Tempat Pemakaman Wanasari sebelah selatan Dompyong Kulon (Desa
Gembongan). Mendengar sayembara tersebut banyak orang yang berdatangan untuk
mencoba menebangnya. Dan pada saat itu datanglah Pemuda yang perkasa yang
bernama Buyut Gentong, dengan keperkasaannya itu pohon itu ditebang dengan
mudahnya oleh Buyut Gentong. “Datanglah seorang pemuda bernama Buyut Gentong
yang berasal dari Cidahu, Kuningan yang berhasil menebang pohon Widagori itu dengan
mudah.”[8]
Singkat bapak Darsono.
Singkat cerita beliau menceritakan
“setelah ditebang pohon itu di potong menjadi tiga bagian untuk dijadikan
sebuah bedug, lama kelamaan pembuatan bedug itu dapat dirampungkan dengan
menggunakan alat yaitu sebuah jarum yang di tusukkan di samping disekeliling
bedug itu untuk menempelkan kulit ke potongan pohon itu agar sempurna menjadi
bedug, nah alat jarum itu dibahasa jawa disebut DOM”.[9]
Bedug itupun akhirnya jadi, setelah
jadi bedug itu dibawa ke tempat ibadah yaitu masjid yang sekarang dikenal
dengan Masjid As-Sa’adah. Kemudian Mbah Buyut Gentong menabuh bedug itu
sehingga suaranya nyaring dan ramai. “Pada saat itu masyarakat bersorak sorai
dan bergembira ria dengan adanya bedug itu karena jaman dahulu belum ada tabuh-tabuhan
sebagai sumber bunyi di daerah itu maka semua warga disana merasa sangat senang
dan bergembira ria mendengar adanya suara bedug yang nyaring itu. Suara orang
yang sangat ramai dan nyaring itu di daerah sini disebut dengan istilah ngarapyong atau PYONG”.[10]
Dengan latar belakang itulah maka
pada saat itu relevansinya nama desa diambil dari asal kata Dom yang berarti
Jarum (alat pembuat bedug), kemudian Pyong yang berarti Ramai, bedug saat
ditabuh menjadi ramai nyaring suaranya, sehingga kalimat tersebut dipadukan
menjadi DOMPYONG.
Sama seperti yang diceritakan oleh
Hj.Siti Maemunah, Bapak Darsono pun bercerita bahwa pembuatan bedug menjadi
tiga buah yaitu yang pertama di simpan di Masjid Dompyong yang sekarang ada di
masjid lama As-Sa’adah sebelah timur desa Dompyong. Bedug yang kedua disimpan
di Desa Gebang Udik dan bedug yang ketiga disimpan di masjid di desa Japura,
Sindang.
Dengan terlaksananya penebangan
pohon widagori tersebut, maka Pangeran Sutajaya memberikan hadiah imbalan
kepada Mbah Buyut Gentong. “Atas perjuangan dari seorang pemuda yang bernama
Gentong Pangeran Sutajaya pun akhirnya menghadiahkannya kepercayaan untuk
memegang tampak Pemerintahan di Padukuhan Dompyong, sehingga Buyut Gentong
mendapat gelar atau julukan Buyut Jembar.”[11] Cerita
Bapak Darsono.
Kemudian beliau pun melanjutkan
ceritanya bahwa dalam kepemimpinannya Mbah Buyut Gentong dengan kebijaksanaanya
itu menjadikan penduduknya hidup dengan sejahtera dan bahagia dan dengan
perkembangan penduduknya itu maka keadaan masyarakatnya pun dalam keadaan
tentram aman gemah rimah loh jinawi.
B. PERKEMBANGAN
DESA DOMPYONG
Dengan keadaan masyarakat yang gemah
ripah loh jinawi tentu disertai dengan hebatnya sesosok pemimpin yang memimpin
desa Dompyong ini. Dengan berjalannya waktu setelah Mbah Buyut Gentong
meninggal, akhirnya desa Dompyong pun berganti-ganti pemimpinnya. Desa Dompyong yang masyarakatnya gemah
ripah loh jinawi menjadikan masyarakat luar ingin tinggal di desa Dompyong.
Akhirnya masyarakat desa Dompyong pun menjadi bertambah banyak. Untuk lebih
meringankan pemimpin dalam mengurus masyarakatnya, akhirnya pada tanggal 15
Juli 1982 Desa Dompyong di mekarkan menjadi dua Desa, yaitu Desa Dompyong Wetan
(sebagai desa induk) dan Desa Dompyong Kulon (sebagai desa pamekaran). Pada
tahun di mekarkannya desa Dompyong, Desa Dompyong Wetan di pimpin oleh Bapak
Tjarlan dan Desa Dompyong Kulon di pimpin oleh Bapak Amari.
Sedikit menceritakan tentang sejarah
pribadi keluarga saya yang masih berhubungan dengan sejarah desa Dompyong. Pada
tahun 1945 desa Dompyong di pimpin oleh kakek buyut saya yaitu Bapak Markum. Pada
saat kepemimpinan Bapak Markum beliau diberhentikan bukan oleh pemerintahan di
atasnya tetapi karena profokator yang mengatakan bahwa Abah Markum itu katanya
merupakan orang ‘rekoba’ yaitu orang-orang yang melawan menentang Belanda,
karena tuduhan itu Abah Markum menjadi buronan yang akan dibunuh oleh bangsa
Belanda, dengan kecerdikannya akhirnya Abah Markum melarikan diri bersembunyi
di pegunungan. Hj.Siti Maemunah yang merupakan anak dari Abah Markum bercerita
sewaktu ia sedang bermain dengan adiknya, Abah Markum tiba-tiba menghampirinya
dan berkata kepadanya “kalau abah tidak pulang selama 2 hari jangan khawatir
yaa” lalu Hj. Munah (nama panggilan Hj.Siti Maemunah) bertanya “kenapa ?” Abah
pun menjawab “sudah pokoknya bilang saja ke emak abah mau pergi jauh jangan
khawatir abah pasti kembali.” Kata Abah Markum.[12]
Cerita Hj.Munah kepada saya.
Dulu ada profokator yang mengatakan
banyak warga Dompyong yang bersembunyi di Pegunungan. Dan akhirnya pada saat
malam hari warga yang bersembunyi di Pegunungan itu pada ditembak dan dibunuh
oleh bangsa Belanda. Tetapi untungnya Abah Markum selamat dan saat kembali ke
rumah Abah Markum beserta kakaknya dibawa ke polisi untuk diperiksa karena
diduga mereka berdua mempunyai banyak arsip tentang Belanda. Saat abah Markum
berada di kepolisian rumah pun akhirnya di geledah oleh orang-orang Belanda
untuk mencari arsip-arsip Belanda yang disembunyikan oleh abah Markum.
Piring-piring, semua perabotan yang tadinya tertata rapi, semuanya dibongkar
untuk mencari arsip itu. Namun, anak-anak dari abah Markum cerdik, mereka menyembunyikan
arsip itu ditempat yang aman sehingga orang-orang Belanda tidak bisa
menemukannya. Setelah semuanya aman dan abah Markum pun akhirnya dibebaskan,
beliau memerintahkan kepada abah Kusnan (Kakek saya yang merupakan kakak dari
Hj. Munah) untuk mengantarkan surat-surat arsip Belanda itu ke pemimpin yang
ada di daerah Kalipasung, agar tidak ketahuan membawa surat, abah Kusnan pun
berinisiatif untuk menggulung kecil surat tersebut dan diselipkan di setir
sepedanya. Akhirnya selamatlah surat itu sampai ditangan pemimpin yang ada di
daerah Kalipasung.
Itu
adalah cerita pribadi dari Hj. Munah pada saat penjajahan Belanda yang saat itu
desa Dompyong dipimpin oleh abah Markum.
Kembali lagi ke sejarah desa
Dompyong, jaman dahulu pemimpin di desa Dompyong itu kata Hj.Munah dipilih
bukan dengan pencoblosan atau pencontrengan seperti dijaman sekarang. Dulu,
orang-orang yang berpotensi jadi pemimpin itu dikumpulkan dilapangan dekat balai
desa, lalu orang-orang itu dijajarkan dan semua warga yang hadir disitu satu
persatu menghampiri dan berdiri dibelakang salah satu calon pemimpin tersebut
sebagai tanda bahwa ia mendukung calon pemimpin tersebut. Yang paling banyak
pendukungnya maka itulah yang akan dijadikan pemimpin desa Dompyong Kulon
selanjutnya.
Selain itu keadaan desa Dompyong yang
sekarang dengan yang dulu itu sangat jauh berbeda. Dulu perumahan di Dompyong
itu jaraknya sangat jauh satu dengan yang lainnya, tidak seperti sekarang yang
sangat berdekatan. Dulu listrik saja belum sampai ke daerah sini. Seperti yang
dikatakan oleh Ibu Suhati “dulu cuma damar yang nerangin rumah-rumah disini dan
kalau lagi main malam-malam kita hanya ditemani oleh sinar bulan saja, walaupun
begitu kami sangat senang dan gembira bermain di malam hari yang hanya ditemani
sinar bulan”[13]
cerita ibu Suhati menceritakan sewaktu ia masih remaja dimana beliau adalah ibu
saya sendiri. Barulah sekitar tahun 1987 listrik masuk ke daerah desa Dompyong
yang bisa menerangi desa Dompyong dengan lampu-lampu yang dulu masih sangat
sederhana yaitu lampu 5 watt yang berwarna kuning. Namun, walaupun sesederhana
itu warga desa Dompyong merasa sangat senang ada penerangan baru di desa
mereka.
Tahun demi tahun desa Dompyong pun
menjadi berkembang lebih maju. Perumahan pun semakin padat merayap, jika kalian
berkunjung ke desa Dompyong sulit untuk menemukan tanah yang masih kosong untuk
di bangun perumahan. Hampir semua sudut di desa Dompyong semuanya telah di
bangun perumahan. Oleh sebab itu, sawah-sawah di daerah Dompyong pun sekarang
menjadi semakin berkurang karena dibangunnya perumahan-perumahan yang baru.
Selain itu jalan-jalan di desa Dompyong pun sekarang berubah. Yang tadinya
hanya berupa tanah biasa sekarang hampir semua jalan di desa Dompyong, baik
jalan raya maupun jalan-jalan di gang-gang kecil pun sekarang sudah di aspal.
Desa Dompyong mempunyai 3 masjid
besar, yang 2 berada di daerah Dompyong Kulon yang terletak di Lapangan besar
blok III Dompyong Kulon dan di Campedak blok II Dompyong Kulon. Dan yang 1
berada di daerah Dompyong Wetan yang letaknya di dekat Balai Desa Dompyong
Wetan. Dompyong juga mempunyai Sekolah Dasar sebanyak 4 Sekolah. 3 Sekolah
berada di Dompyong Wetan dan 1 Sekolah Dasar berada di Dompyong Kulon. Dan 1
Taman Kanak-Kanak yang bernama TK Handayani. Selain itu Dompyong juga mempunyai
1 lapangan besar yang letaknya di blok III Dompyong Kulon.
Dari jaman terbentuknya desa
Dompyong yang dipimpin oleh Mbah Buyut Jembar, desa Dompyong pun telah beberapa
kali ganti kepemimpinannya / Kepala Desa nya. Hingga tahun 1982 desa Dompyong
dimekarkaan menjadi 2 yaitu Desa Dompyong Wetan dan Desa Dompyong Kulon, Kepala
Desa nya pun berbeda pula antar Dompyong Wetan dan Dompyong Kulon.
Dibawah
ini adalah catatan kepemimpinan desa Dompyong, baik sebelum dimekarkan maupun
setelah dimekarkan yaitu sebagai berikut :
¨
Kepala Desa desa
Dompyong Sebelum dimekarkan
No
|
Nama
|
Jabatan
|
Masa
Jabatan
|
Lamanya
|
1.
|
Buyut
Jembar
|
Kepala
Desa
|
-
|
-
|
2.
|
Sampang
|
Kepala
Desa
|
-
|
-
|
3.
|
Salijan
|
Kepala
Desa
|
-
|
-
|
4.
|
Sadam
|
Kepala
Desa
|
-
|
-
|
5.
|
Taswan
|
Kepala
Desa
|
1899-1906
|
7
|
6.
|
Natadiwangsa
|
Kepala
Desa
|
1906-1911
|
5
|
7.
|
Cakradinata
|
Kepala
Desa
|
1911-1917
|
6
|
8.
|
Sumirah
|
Kepala
Desa
|
1917-1920
|
3
|
9.
|
H.
Abdul Gani
|
Kepala
Desa
|
1920-1921
|
1
|
10.
|
Kramadinata
|
Kepala
Desa
|
1921-1923
|
2
|
11.
|
Sajum
|
Kepala
Desa
|
1923-1927
|
4
|
12.
|
H.
Abdul Gani
|
Kepala
Desa
|
1927-1945
|
18
|
13.
|
Markum
|
Kepala
Desa
|
1945-1948
|
3
|
14.
|
Astara
|
Kepala
Desa
|
1948-1950
|
2
|
15.
|
Markum
|
Kepala
Desa
|
1950-1951
|
1
|
16.
|
Suratman
|
Kepala
Desa
|
1951-1956
|
5
|
17.
|
Wastra
Sutrisno
|
Kepala
Desa
|
1956-1967
|
11
|
18.
|
Amari
|
Kepala
Desa
|
1967-1982
|
15
|
¨
Kepala Desa desa
Dompyong setelah dimekarkan
Ø Dompyong
Wetan
No
|
Nama
|
Jabatan
|
Masa
Jabatan
|
Lamanya
|
1.
|
Tjarlan
|
Kepala
Desa
|
1982-1984
|
2
|
2.
|
Tjarlan
|
Kepala
Desa
|
1985-1993
|
8
|
3.
|
Darsono
|
Kepala
Desa
|
1994-2003
|
9
|
4.
|
Carna
|
Kepala
Desa
|
2003-2013
|
10
|
5.
|
Didi
Sutadi
|
Kepala
Desa
|
2013-sekarang
|
-
|
Ø Dompyong
Kulon
No
|
Nama
|
Jabatan
|
Masa
Jabatan
|
Lamanya
|
1.
|
Amari
|
Kepala
Desa
|
1982-1983
|
1
|
2.
|
Ahmadi
|
Kepala
Desa
|
1985-1995
|
10
|
3.
|
Taryono
|
Kepala
Desa
|
1995-2003
|
8
|
4.
|
Abdul
Mugni
|
Kepala
Desa
|
2004-2008
|
4
|
5.
|
Didi
Rosidi
|
Kepala
Desa
|
2008-sekarang
|
-
|
Demikianlah Sejarah dan Perkembangan desa Dompyong dari
terbentuknya desa hingga sekarang tahun 2013. Tulisan ini berdasarkan
sumber-sumber tokoh masyarakat yang telah diwawancarai. Mohon maaf jika banyak
kekeliruan dalam tulisan ini dan mohon koreksi pembetulan dan saran demi
membangun tulisan ini agar menjadi tulisan yang lebih baik lagi.
[1] Hj.
Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.10
[2] Hj.
Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.12
[3] Hj.
Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.14
[4] Hj.
Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.17
[5] Hj.
Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.18
[6] Hj. Maemunah,
28-05-2013 pukul 9.22
[7] Hj.
Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.24
[8] Bapak
Darsono, 28-05-2013, pukul 10.21
[9] Bapak
Darsono, 28-05-2013, pukul 10.22
[10] Bapak
Darsono, 28-05-2013, pukul 10.25
[11] Bapak
Darsono, 28-05-2013, pukul 10.31
[12] Hj.
Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.35
[13] Ibu
Suhati, 25-05-2013, pukul 19.02
SAngat Baguss artikelnya ,salam blogger :)
BalasHapusBTW, urang dompyong tah ? :D
Terima Kasih, salam blogger :)
BalasHapusmuhun urang dompyong, urang dompyong juga tah?
sangat menarik artikel nya.... sy sbg salah satu keturunan yg berasal dr desa Dompyong Wetan (Kakek saya dr Bapa sy) sangat apresiasi sekali.... sy berharap dpt terus memberikan informasi perkembangan desa Dompyong sehingga dpt bermafaat bagi anak keturunan yg berasal dr Dompyong sendiri maupun buat masyarakat Indonesia pd umum nya sehingga dpt mengetahui salah satu Desa di Republik ini yg punya sejarah cukup panjang..... Salam
BalasHapussaya salah satu cucu dari bapa Alm H. Zaenal dan putra dari Alm Bp. Mansur (Babakan) dan kerabat (Paman paman sy dan klrg nya masih ada di Desa Dompyong : ALm Bp. Mamum, Alm Bp Durahman).... salam buat Ibu Hj. Maemunah jg....
BalasHapusKang asep nya mantul lah
Hapusmuhun adbi warga dompyong oge lis , incuna Abah wastra sutrisno , coba taroskeun ka mamah :D
BalasHapusNuhun pisan nu boga bloger, tugas kuliah jadi kabantu. Alhamdulillah jadi nyaho asal usul desa sorangan....hehehe
BalasHapusUrg incu na abah H.Dasja Campedak, salam kenal dulur dompyong
Haturnuhun tos nyaritakwn asal usul na desa kelahiran abdi nyaeta desa dmpyong
BalasHapusTop
BalasHapusterima kasih sangat bermanfaat
BalasHapusterimakasih banyak bu.. sangat bermanfaat
BalasHapus