Senin, 26 Agustus 2013

SEJARAH DESA DOMPYONG

A.     ASAL-USUL DESA DOMPYONG
            Terbentuknya suatu daerah/wilayah tentunya terdapat sejarah atau asal-usul didalamnya yang menjadikan daerah tersebut menjadi lebih bermakna. Kali ini saya akan memaparkan sejarah dari desa Dompyong dimana di desa ini adalah tempat lahirnya Ibu saya. Dari beberapa sumber yang telah saya wawancarai ternyata mereka memiliki versi masing-masing tentang sejarah terbentuknya desa Dompyong. Menurut sumber yang pertama yaitu Hj. Maemunah yang kebetulan adalah kakak dari kakek saya sendiri. Menurut cerita beliau Jaman dahulu kala ada seorang Mbah Kuwu dengan julukannya Mbah Blendang dia berasal dari Cigedog Kuningan, dia adalah pekerja di Kerajaan Pangeran Sutajaya di daerah Pagebangan. Kerjanya itu menjadi tukang mengantarkan surat kesana-kesini menggunakan kendaraan kuda, lama-kelamaan dia bekerja seperti itu Pangeran Sutajaya memerintahkan kepadanya untuk tinggal di daerah hutan (yang sekarang desa Dompyong), disana ia diperintahkan untuk membuat gubug/saungan untuk tempat tinggalnya, lama dia tinggal disana dan sekalian bolak-balik untuk melaksanakan tugasnya untuk mengantarkan surat.
            “Ditengah-tengah tugasnya pada suatu hari Pangeran Sutajaya memberitahu kepada Mbah Glendang di wilayah perbatasan sebelah selatan ada sebuah pohon yang sangat besar dan tua, kemudian Mbah Glendang diperintahkan oleh Pangeran Sutajaya untuk membuat sayembara yang isinya barang siapa yang bisa menebang pohon besar itu maka akan diberi hadiah yaitu tanah di sekitar wilayah pohon tersebut”.[1] Cerita emak Hj.Siti Maemunah kepada saya. Tetapi ternyata tidak ada yang bisa menebang pohon besar itu, sampai akhirnya Mbah Kuwu mencoba untuk menebang pohon itu dan ternyata tumbanglah pohonnya dengan mudah. “tidak tahu karena kekuatannya atau karena bantuan jin, pohon yang sudah ratusan tahun itu dengan mudahnya ditumbangkan oleh Mbah Kuwu Glendang”[2].
            Dan akhirnya Pangeran Sutajaya pun menepati janjinya untuk menghadiahkan wilayah disekitar pohon itu kepada Mbah Kuwu Glendang. Setelah pohon itu ditebang Mbah Kuwu beserta masyarakat disekitar sini bingung akan dijadikan apa sebongkah pohon besar ini. “Jadi, masyarakat pun memutuskan pohon itu di potong menjadi tiga bagian saja. Dan akhirkan ketiga bagian pohon itu pun dijadikan untuk dibuat bedug”.[3]
Lanjut cerita, menurut Emak Hajah Pembuatan bedug itu dibantu oleh semua warga disekitar sini, bedug itu dibuat dengan mengeborkan jarum atau dicolok gitu ke bagian bedug itu oleh warga sekitar sampai besar boran itu dan tosblonglah bedug itu dengan jarum besar disekitarnya yang diwilayah sini jarum itu disebutnya ‘DOM’. Setelah bedug itu jadi lalu dipasangkan di Masjid yang pertama, “dulu tempat itu masih bukan sebuah masjid, tapi hanya berupa saungan yang bisa dijadikan tempat shalat saja”.[4] Cerita emak Hajah kemudian
            Setelah dipasangkan di Masjid itu bedug pun kemudian ditabuh oleh Mbah Kuwu Glendang. Pada saat ditabuh semua orang berdatangan kesana, tempat itu pun menjadi ramai sekali oleh sorak-soray warga yang merasa senang dengan adanya bedug diwilayah sini. “Saat ditabuh itu semuanya surak, orang-orang semua kumpul mendengarkan bedug itu ditabuh dan berdataganlah semua orang dengan ngarapyong dengan senang gembira karena ada bedug tuh”[5] Lanjut cerita si Emak Hajah.
Mendengar sorak-soray warga ngarapyong mendengar suara bedugnya yang berbunyi ‘PYONG’, maka petugas-petugas yang berada disana jadinya memutuskan untuk menamai daerah ini dengan nama desa ‘DOMPYONG’. DOM yang berarti jarum yang dibor kan pada sisi bedug dan PYONG yang berarti ramai sorak-soray warga yang ngarapyong dan karena bunyi dari suara bedug saat ditabuhkan berbunyi pyong-pyong-pyong. Dua kata itu disatukan jadi menjadi kalimat DOMPYONG.
            Lanjut cerita dari ketiga bagian pohon yang dijadikan bedug itu, emak bercerita bahwa “Yang satu bagian bedugnya disimpan di Masjid di wilayah Gebang yang sekarang tertutupi oleh pasar, yang bedug kedua yang dibuat dari bagian tengah pohon itu disimpan di Masjid di wilayah sendiri yang sekarang dikenal dengan Masjid As-Sa’adah tempat bersejarah dimana asal kata desa Dompyong terciptakan, dan bedug yang ketiganya dibawa diwilayah Mertapada, Astanajapura, Sindang yang merupakan bagian pucuk dari pohon besar itu”.[6]
“Jadi, desa Dompyong ini adalah berasal dari hadiah karena bisa menebang pohon yang akhirnya dijadikan bedug.”[7] Tutur beliau diakhir ceritanya.
            Itulah pemaparan cerita dari sumber yang pertama yang awalnya menggunakan Bahasa Sunda yang sudah ditranslate oleh saya sendiri menggunakan Bahasa Indonesia agar lebih bisa dimengerti oleh pembaca.
            Berbeda dengan sumber yang pertama, sumber yang kedua ini yaitu Bapak Darsono yang kebetulan merupakan mantan kuwu desa Dompyong periode 1994-2003. Ia bercerita Pada jaman dahulu itu ada suatu wilayah yang disebut perdikan yaitu Wilayah Pagebangan, yang dipimpin oleh Pangeran Sutajaya. Pada masa kekuasaan Pangeran Sutajaya itu beliau berniat untuk memperluas wilayah kekuasaannya lagi sampai ke Selatan. Pada suatu ketika Pangeran Sutajaya itu memerintahkan seorang pengawalnya atau tangan kanannya gitu untuk membuat tempat peristirahatannya atau sebuah Taman disuatu tempat yang sunyi dan tersembunyi ditengah hutan (dulu disebutnya itu ditengah alas), yang sekarang tempat peristirahatannya itu dikenal dengan Blok Taman Sari yang berlokasi di Dusun II. Konon pada saat itu wilayah Perdikan Pagebangan itu keadaan masyarakatnya gemah ripah loh jinari. Ditengah-tengah perjuangannya Pangeran Sutajaya dalam memangku kekuasaannya, yang tujuannya untuk mencapai masyarakat yang tentram lahir batin, Pangeran Sutajaya itu berniat untuk memperluas wilayahnya dengan cara membabad hutan-hutan. Dulu itu wilayah di Pagebangan sangat ramai dan mengalami kemajuan yang pesat, jadi banyak orang-orang yang berdatangan kesana yaitu orang-orang dari Roragung untuk berjualan dan mencari nafkah. Dengan kemudahan untuk mencari nafkah itu banyak orang yang menetap diwilayah Pagebangan. Dalam memperluas wilayah dengan cara membabad alas/hutan yang diceritakan tadi, ada sebatang pohon yang cukup besar, pohon itu namanya Pohon Widagori. Pohon Widagori itu sulit ditebangnya hingga dalam penebangan pohon tersebut banyak orang yang jatuh korban atau meninggal karena angkernya pada jaman itu. Dalam kesulitan Pangeran Sutajaya untuk menyuruh penebangan pohon tersebut, Pangeran Sutajaya memutuskan untuk mengadakan sayembara, dalam sayembaranya itu katanya Pangeran Sutajaya menjanjikan untuk memberikan hadiah, barang siapa yang mampu menebang Pohon Widagori itu akan diberi kekuasaan atau padukuhan disebelah selatan. Adapun Pohon Widagori tersebut  lokasinya berada di daerah Wanasari yang sekarang dikenal Tempat Pemakaman Wanasari sebelah selatan Dompyong Kulon (Desa Gembongan). Mendengar sayembara tersebut banyak orang yang berdatangan untuk mencoba menebangnya. Dan pada saat itu datanglah Pemuda yang perkasa yang bernama Buyut Gentong, dengan keperkasaannya itu pohon itu ditebang dengan mudahnya oleh Buyut Gentong. “Datanglah seorang pemuda bernama Buyut Gentong yang berasal dari Cidahu, Kuningan yang berhasil menebang pohon Widagori itu dengan mudah.”[8] Singkat bapak Darsono.
            Singkat cerita beliau menceritakan “setelah ditebang pohon itu di potong menjadi tiga bagian untuk dijadikan sebuah bedug, lama kelamaan pembuatan bedug itu dapat dirampungkan dengan menggunakan alat yaitu sebuah jarum yang di tusukkan di samping disekeliling bedug itu untuk menempelkan kulit ke potongan pohon itu agar sempurna menjadi bedug, nah alat jarum itu dibahasa jawa disebut DOM”.[9]
            Bedug itupun akhirnya jadi, setelah jadi bedug itu dibawa ke tempat ibadah yaitu masjid yang sekarang dikenal dengan Masjid As-Sa’adah. Kemudian Mbah Buyut Gentong menabuh bedug itu sehingga suaranya nyaring dan ramai. “Pada saat itu masyarakat bersorak sorai dan bergembira ria dengan adanya bedug itu karena jaman dahulu belum ada tabuh-tabuhan sebagai sumber bunyi di daerah itu maka semua warga disana merasa sangat senang dan bergembira ria mendengar adanya suara bedug yang nyaring itu. Suara orang yang sangat ramai dan nyaring itu di daerah sini disebut dengan istilah ngarapyong atau PYONG”.[10]
            Dengan latar belakang itulah maka pada saat itu relevansinya nama desa diambil dari asal kata Dom yang berarti Jarum (alat pembuat bedug), kemudian Pyong yang berarti Ramai, bedug saat ditabuh menjadi ramai nyaring suaranya, sehingga kalimat tersebut dipadukan menjadi DOMPYONG.
            Sama seperti yang diceritakan oleh Hj.Siti Maemunah, Bapak Darsono pun bercerita bahwa pembuatan bedug menjadi tiga buah yaitu yang pertama di simpan di Masjid Dompyong yang sekarang ada di masjid lama As-Sa’adah sebelah timur desa Dompyong. Bedug yang kedua disimpan di Desa Gebang Udik dan bedug yang ketiga disimpan di masjid di desa Japura, Sindang.
            Dengan terlaksananya penebangan pohon widagori tersebut, maka Pangeran Sutajaya memberikan hadiah imbalan kepada Mbah Buyut Gentong. “Atas perjuangan dari seorang pemuda yang bernama Gentong Pangeran Sutajaya pun akhirnya menghadiahkannya kepercayaan untuk memegang tampak Pemerintahan di Padukuhan Dompyong, sehingga Buyut Gentong mendapat gelar atau julukan Buyut Jembar.”[11] Cerita Bapak Darsono.
            Kemudian beliau pun melanjutkan ceritanya bahwa dalam kepemimpinannya Mbah Buyut Gentong dengan kebijaksanaanya itu menjadikan penduduknya hidup dengan sejahtera dan bahagia dan dengan perkembangan penduduknya itu maka keadaan masyarakatnya pun dalam keadaan tentram aman gemah rimah loh jinawi.

B.     PERKEMBANGAN DESA DOMPYONG
            Dengan keadaan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi tentu disertai dengan hebatnya sesosok pemimpin yang memimpin desa Dompyong ini. Dengan berjalannya waktu setelah Mbah Buyut Gentong meninggal, akhirnya desa Dompyong pun berganti-ganti pemimpinnya.          Desa Dompyong yang masyarakatnya gemah ripah loh jinawi menjadikan masyarakat luar ingin tinggal di desa Dompyong. Akhirnya masyarakat desa Dompyong pun menjadi bertambah banyak. Untuk lebih meringankan pemimpin dalam mengurus masyarakatnya, akhirnya pada tanggal 15 Juli 1982 Desa Dompyong di mekarkan menjadi dua Desa, yaitu Desa Dompyong Wetan (sebagai desa induk) dan Desa Dompyong Kulon (sebagai desa pamekaran). Pada tahun di mekarkannya desa Dompyong, Desa Dompyong Wetan di pimpin oleh Bapak Tjarlan dan Desa Dompyong Kulon di pimpin oleh Bapak Amari.
            Sedikit menceritakan tentang sejarah pribadi keluarga saya yang masih berhubungan dengan sejarah desa Dompyong. Pada tahun 1945 desa Dompyong di pimpin oleh kakek buyut saya yaitu Bapak Markum. Pada saat kepemimpinan Bapak Markum beliau diberhentikan bukan oleh pemerintahan di atasnya tetapi karena profokator yang mengatakan bahwa Abah Markum itu katanya merupakan orang ‘rekoba’ yaitu orang-orang yang melawan menentang Belanda, karena tuduhan itu Abah Markum menjadi buronan yang akan dibunuh oleh bangsa Belanda, dengan kecerdikannya akhirnya Abah Markum melarikan diri bersembunyi di pegunungan. Hj.Siti Maemunah yang merupakan anak dari Abah Markum bercerita sewaktu ia sedang bermain dengan adiknya, Abah Markum tiba-tiba menghampirinya dan berkata kepadanya “kalau abah tidak pulang selama 2 hari jangan khawatir yaa” lalu Hj. Munah (nama panggilan Hj.Siti Maemunah) bertanya “kenapa ?” Abah pun menjawab “sudah pokoknya bilang saja ke emak abah mau pergi jauh jangan khawatir abah pasti kembali.” Kata Abah Markum.[12] Cerita Hj.Munah kepada saya.
            Dulu ada profokator yang mengatakan banyak warga Dompyong yang bersembunyi di Pegunungan. Dan akhirnya pada saat malam hari warga yang bersembunyi di Pegunungan itu pada ditembak dan dibunuh oleh bangsa Belanda. Tetapi untungnya Abah Markum selamat dan saat kembali ke rumah Abah Markum beserta kakaknya dibawa ke polisi untuk diperiksa karena diduga mereka berdua mempunyai banyak arsip tentang Belanda. Saat abah Markum berada di kepolisian rumah pun akhirnya di geledah oleh orang-orang Belanda untuk mencari arsip-arsip Belanda yang disembunyikan oleh abah Markum. Piring-piring, semua perabotan yang tadinya tertata rapi, semuanya dibongkar untuk mencari arsip itu. Namun, anak-anak dari abah Markum cerdik, mereka menyembunyikan arsip itu ditempat yang aman sehingga orang-orang Belanda tidak bisa menemukannya. Setelah semuanya aman dan abah Markum pun akhirnya dibebaskan, beliau memerintahkan kepada abah Kusnan (Kakek saya yang merupakan kakak dari Hj. Munah) untuk mengantarkan surat-surat arsip Belanda itu ke pemimpin yang ada di daerah Kalipasung, agar tidak ketahuan membawa surat, abah Kusnan pun berinisiatif untuk menggulung kecil surat tersebut dan diselipkan di setir sepedanya. Akhirnya selamatlah surat itu sampai ditangan pemimpin yang ada di daerah Kalipasung.
Itu adalah cerita pribadi dari Hj. Munah pada saat penjajahan Belanda yang saat itu desa Dompyong dipimpin oleh abah Markum.
            Kembali lagi ke sejarah desa Dompyong, jaman dahulu pemimpin di desa Dompyong itu kata Hj.Munah dipilih bukan dengan pencoblosan atau pencontrengan seperti dijaman sekarang. Dulu, orang-orang yang berpotensi jadi pemimpin itu dikumpulkan dilapangan dekat balai desa, lalu orang-orang itu dijajarkan dan semua warga yang hadir disitu satu persatu menghampiri dan berdiri dibelakang salah satu calon pemimpin tersebut sebagai tanda bahwa ia mendukung calon pemimpin tersebut. Yang paling banyak pendukungnya maka itulah yang akan dijadikan pemimpin desa Dompyong Kulon selanjutnya.
            Selain itu keadaan desa Dompyong yang sekarang dengan yang dulu itu sangat jauh berbeda. Dulu perumahan di Dompyong itu jaraknya sangat jauh satu dengan yang lainnya, tidak seperti sekarang yang sangat berdekatan. Dulu listrik saja belum sampai ke daerah sini. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Suhati “dulu cuma damar yang nerangin rumah-rumah disini dan kalau lagi main malam-malam kita hanya ditemani oleh sinar bulan saja, walaupun begitu kami sangat senang dan gembira bermain di malam hari yang hanya ditemani sinar bulan”[13] cerita ibu Suhati menceritakan sewaktu ia masih remaja dimana beliau adalah ibu saya sendiri. Barulah sekitar tahun 1987 listrik masuk ke daerah desa Dompyong yang bisa menerangi desa Dompyong dengan lampu-lampu yang dulu masih sangat sederhana yaitu lampu 5 watt yang berwarna kuning. Namun, walaupun sesederhana itu warga desa Dompyong merasa sangat senang ada penerangan baru di desa mereka.
            Tahun demi tahun desa Dompyong pun menjadi berkembang lebih maju. Perumahan pun semakin padat merayap, jika kalian berkunjung ke desa Dompyong sulit untuk menemukan tanah yang masih kosong untuk di bangun perumahan. Hampir semua sudut di desa Dompyong semuanya telah di bangun perumahan. Oleh sebab itu, sawah-sawah di daerah Dompyong pun sekarang menjadi semakin berkurang karena dibangunnya perumahan-perumahan yang baru. Selain itu jalan-jalan di desa Dompyong pun sekarang berubah. Yang tadinya hanya berupa tanah biasa sekarang hampir semua jalan di desa Dompyong, baik jalan raya maupun jalan-jalan di gang-gang kecil pun sekarang sudah di aspal.
            Desa Dompyong mempunyai 3 masjid besar, yang 2 berada di daerah Dompyong Kulon yang terletak di Lapangan besar blok III Dompyong Kulon dan di Campedak blok II Dompyong Kulon. Dan yang 1 berada di daerah Dompyong Wetan yang letaknya di dekat Balai Desa Dompyong Wetan. Dompyong juga mempunyai Sekolah Dasar sebanyak 4 Sekolah. 3 Sekolah berada di Dompyong Wetan dan 1 Sekolah Dasar berada di Dompyong Kulon. Dan 1 Taman Kanak-Kanak yang bernama TK Handayani. Selain itu Dompyong juga mempunyai 1 lapangan besar yang letaknya di blok III Dompyong Kulon.
            Dari jaman terbentuknya desa Dompyong yang dipimpin oleh Mbah Buyut Jembar, desa Dompyong pun telah beberapa kali ganti kepemimpinannya / Kepala Desa nya. Hingga tahun 1982 desa Dompyong dimekarkaan menjadi 2 yaitu Desa Dompyong Wetan dan Desa Dompyong Kulon, Kepala Desa nya pun berbeda pula antar Dompyong Wetan dan Dompyong Kulon.
Dibawah ini adalah catatan kepemimpinan desa Dompyong, baik sebelum dimekarkan maupun setelah dimekarkan yaitu sebagai berikut :

¨   Kepala Desa desa Dompyong Sebelum dimekarkan
No
Nama
Jabatan
Masa Jabatan
Lamanya
1.
Buyut Jembar
Kepala Desa
-
-
2.
Sampang
Kepala Desa
-
-
3.
Salijan
Kepala Desa
-
-
4.
Sadam
Kepala Desa
-
-
5.
Taswan
Kepala Desa
1899-1906
7
6.
Natadiwangsa
Kepala Desa
1906-1911
5
7.
Cakradinata
Kepala Desa
1911-1917
6
8.
Sumirah
Kepala Desa
1917-1920
3
9.
H. Abdul Gani
Kepala Desa
1920-1921
1
10.
Kramadinata
Kepala Desa
1921-1923
2
11.
Sajum
Kepala Desa
1923-1927
4
12.
H. Abdul Gani
Kepala Desa
1927-1945
18
13.
Markum
Kepala Desa
1945-1948
3
14.
Astara
Kepala Desa
1948-1950
2
15.
Markum
Kepala Desa
1950-1951
1
16.
Suratman
Kepala Desa
1951-1956
5
17.
Wastra Sutrisno
Kepala Desa
1956-1967
11
18.
Amari
Kepala Desa
1967-1982
15


¨   Kepala Desa desa Dompyong setelah dimekarkan
Ø Dompyong Wetan
No
Nama
Jabatan
Masa Jabatan
Lamanya
1.
Tjarlan
Kepala Desa
1982-1984
2
2.
Tjarlan
Kepala Desa
1985-1993
8
3.
Darsono
Kepala Desa
1994-2003
9
4.
Carna
Kepala Desa
2003-2013
10
5.
Didi Sutadi
Kepala Desa
2013-sekarang
-

Ø Dompyong Kulon
No
Nama
Jabatan
Masa Jabatan
Lamanya
1.
Amari
Kepala Desa
1982-1983
1
2.
Ahmadi
Kepala Desa
1985-1995
10
3.
Taryono
Kepala Desa
1995-2003
8
4.
Abdul Mugni
Kepala Desa
2004-2008
4
5.
Didi Rosidi
Kepala Desa
2008-sekarang
-
          Demikianlah Sejarah dan Perkembangan desa Dompyong dari terbentuknya desa hingga sekarang tahun 2013. Tulisan ini berdasarkan sumber-sumber tokoh masyarakat yang telah diwawancarai. Mohon maaf jika banyak kekeliruan dalam tulisan ini dan mohon koreksi pembetulan dan saran demi membangun tulisan ini agar menjadi tulisan yang lebih baik lagi.




[1] Hj. Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.10
[2] Hj. Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.12
[3] Hj. Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.14
[4] Hj. Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.17
[5] Hj. Siti Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.18
[6] Hj. Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.22
[7] Hj. Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.24
[8] Bapak Darsono, 28-05-2013, pukul 10.21
[9] Bapak Darsono, 28-05-2013, pukul 10.22
[10] Bapak Darsono, 28-05-2013, pukul 10.25
[11] Bapak Darsono, 28-05-2013, pukul 10.31
[12] Hj. Maemunah, 28-05-2013 pukul 9.35
[13] Ibu Suhati, 25-05-2013, pukul 19.02